Taqabbalallahu minnaa wa minkum... "Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"

31 Okt 2014

Bid'ahnya Tahlilan (Ultah Kematian)

Alkisah, konon disuatu tempat tepatnya dinegeri bid’ah dikampung tahlilan, terjadi dialog antara seorang jama’ah Aswaja kita sebut saja namanya Zoni dengan seorang jama’ah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (wahhabi) yang kita kasih saja namanya Umar. Singkat cerita;

Zoni: “Wahai tetanggaku! Ada apa gerangan yang membuatmu enggan hadir disetiap acara yang diadakan warga dikampung kita ini, bukankah hak setiap muslim apabila ia mengundang maka wajib bagi kita menghadirinya!”

Umar: “Ah kata siapa adinda, kanda selalu hadir disetiap ada undangan seperti aqiqah, nikahan, walimahan, bahkan acara gotong royong yang diadakan dikampung inipun kanda selalu menyempatkan diri untuk membantu”


Zoni: “Bukan acara itu yang saya maksud kakanda, yang dinda pertanyakan adalah acara seperti tahlilan dan yasinan, dan ketidakhadiran kanda jadi bahan pembicaraan dikampung kita ini”

Umar: “Ooh kalo acara seperti itu mah kanda memang sengaja untuk tidak mau berhadir”

Zoni: “Memangnya kenapa, kan acara tersebut bagian dari ibadah, sungguh kami merasa tersinggung setiap kali kanda kami undang tapi tidak pernah mau hadir, jangankan hadir barang sebentar, untuk ngasih kabar tidak bisa hadir (sibuk) pun tidak”

Umar: “Ma’af adinda, kanda hanya mau hadir diacara yang Allah ridhoi (syar’i), adapun acara yang adinda sebutkan tadi merupakan acara yang tidak pernah dicontohkan oleh baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukankah setiap acara yang tidak pernah dicontohkan (bid’ah) akan tertolak, jadi buat apa kanda menghadiri acara yang tidak ada manfa’atnya”

Zoni: “Ah kata siapa acara tersebut tidak ada contohnya, dalilnya ada kok, pernahkah kanda mendengar atsar yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in yang bernama Thowus rahimahullah, beliau berkata; sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburnya selama tujuh hari, maka mereka (shahabat) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat pada hari-hari tersebut. Kata guru saya atsar ini sudah cukup untuk dijadikan dalih pensyari’atan acara selamatan kematian”.

Umar: “Duhai adinda, atsar yang kau bawakan tersebut lemah dari sisi periwayatannya, karena tatkala Thowus rahimahullah wafat, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah yang membawakan atsar tersebut masih sangat kecil (9thn), makanya setiap beliau meriwayatkan atsar dari Thowus, selalu ada perantara perawi lainnya, dan tidak ditemukan satu riwayatpun yang mana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus. Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:

- Pertama, tidak ditemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa para shahabat radhiallahu ‘anhu melakukan ritual selamatan kematian apabila ada shahabat yang lainnya meninggal, apalagi dengan format dan penentuan tanggal (1, 3, 7) seperti yang dilakukan mayoritas masyarakat dinegeri kita ini.
- Kedua, Thowus rahimahullah sedang berbicara tentang masalah ghaib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh Malaikat) selama tujuh hari, dari mana ia tahu hal tersebut, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerangkan perkara ghaib tersebut, bukankah mayat akan ditanya hanya sekali saja, yakni sesaat setelah dikuburkan.
- Ketiga, Seandainya atsar tersebut shahih kenapa kita tidak menjumpai sunnah selamatan kematian ini dibahas dalam kitab-kitab para imam madzhab dan ulama yang mengikuti madzhab tersebut, semisal bab yang berjudul ‘Selamatan Kematian’, apakah para imam madzhab tidak mengetahui sunnah ini. Anehnya madzhab yang kalian ikuti, seperti yang termaktub dalam kitab Al Umm sangat menentang keras acara berkumpulnya dirumah mayyit.

Zoni: “Tapi kan ada ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan untuk para tamu, lagipula dalam acara tersebut mengandung beberapa kebaikan, semisal membaca tallil, yasin dan do’a, yang mana pahala dari ritual tersebut kita niatkan untuk mayyit. Saya rasa acara penghidangan makanan tersebut bukanlah hal yang sia-sia, karena termasuk bagian dari sedekah”

Umar: “Memang benar wahai adinda, ada ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan untuk para tamu, tapi jangan dinda pahami bahwa penghidangan makanan tersebut diatur hari-harinya dan format acaranya harus dibacakan tahlil, yasin dan al fatihah. Dan yang terpenting adalah hendaknya dalam menyediakan makanan tersebut tidak mengambil uang dari harta anak yatim. Adapun berkaitan dengan masalah sedekah seperti yang dinda katakan, maka ada pertanyaan buat adinda, kenapa sedekah harus berupa nasi+lauk pauknya, kemudian undangan yang hadir ada yang dari orang kaya, masa orang miskin disuruh bersedekah kepada orang kaya, apakah syari’at ini sudah terbalik. Seandainya acara penghidangan makanan diacara selamatan kematian ini merupakan bagian dari sedekah, niscaya salafus shalih sudah mendahului kita melakukannya”.

Zoni: “Tapi kan acara selamatan kematian itu sudah menjadi tradisi yang baik bagi masyarakat Indonesia, dinda rasa sah-sah saja (jawabnya dengan nada tinggi)”

Umar: “Lho dinda gimana sih, katanya tadi acara selamatan kematian merupaakan bagian dari ibadah terus dihubungkan pula ke masalah sedekah, sekarang dinda malah lari ke masalah tradisi lagi. Perlu dinda ketahui yang namanya tradisi itu, suatu kebiasaan disuatu daerah, apabila tidak bertentangan dengan syari’at maka boleh bagi kita untuk mengikutinya, seperti lazimnya masyarakat Indonesia makan pakai sendok, memakai blankon, peci hitam, sarung dll. Kalau acara selamatan dinda hubungkan dengan tradisi yang baik, maka hal tersebut tidak dibenarkan oleh syari’at, karena disitu ada bentuk pensyari’atan baru, kalau ada keluarga yang meninggal maka kudu diselamati mulai dari 1, 3, 7 hari dan seterusnya kemudian dibacakan tahlil, yasin dan do’a, lagipula tradisi tersebut dibuat oleh agama nenek moyang, maka wajib bagi kita untuk meninggalkannya (tasyabuh). Apalagi dalam tradisi tersebut ada keyakinan yang menyertainya, seperti acara mandi 7 bulanan, kirab pusaka, menaruh sesaji dilaut dan dilereng gunung.

Zoni: “Bukankah tidak ada larangannya kita mengerjakan acara selamatan kematian tersebut, kan ada kaidahnya ‘asal hokum segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya’”.

Umar: “Duhai adinda, kaidah yang kamu gunakan tersebut terbalik, kaidah tersebut harusnya digunakan dalam perkara urusan duniawi, adapun perkara ibadah, maka kaidahnya seperti ini ‘asal hokum suatu ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang memerintahkannya’, kalau kita beribadah harus nunggu larangan maka akan cape kita, karena berapa banyak orang yang akan mengkreasi ibadah. Kalau dinda memakai kaidah tersebut, lantas adakah larangannya kita berhaji ketanah karbala (tanah suci agama syi’ah la’natullah), terus adakah larangan aqiqah dengan seekor gajah, tentunya tidak ada toh”.

Zoni: “Baiklah kanda, berhubung dinda tidak bisa berargumentasi, lain kali kanda (kalau berkenan), mau dialog tentang masalah bid’ah dengan tuan guru kami”

Umar: “Dengan senang hati dinda, kanda siap”

Insha Allah bersambung ke Tema “Dialog Tentang Bid’ah Hasanah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright 2010@All Rights Reserved By Abu Rumaisha
a
h
s
i
a
m
u
R
u
b
A