Ada 3 jenis dalil yang menunjukkan wajibnya pokok agama yang satu ini, yaitu:
A. Dalil Akal
Bahwa para Shahabat radhiallahu ‘anhum adalah manusia yang paling dekat dengan zaman kenabian sehingga mereka adalah kaum yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur`an dan mendengarkan langsung keluarnya hadits-hadits dari mulut Ar-Rasul. Ayat-ayat Al-Qur`an turun di depan mata-mata mereka, hadits-hadits Nabi keluar saat kehadiran mereka.
Secara umum, keadaan para shahabat sebagaimana keadaan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ, مَا أَُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ أَيْنَ نُزِلَتْ, وَلاَ أُنْزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ فِيْمَنْ أُنْزِلَتْ, وَلَوْ أَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنِّي بِكِتَابِ اللهِ تَبْلُغُهُ الْإِبِلُ لَرَكِبْتُ إِلَيْهِ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَمَا مِنْ آيَةٍ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ فِيْمَا نَزَلَتْ
“Demi yang tidak ada sembahan yang haq selain Dia, tidak ada satupun surah dalam kitab Allah kecuali saya mengetahui dimana turunnya dan tidak ada satupun ayat dalam kitab Allah kecuali saya mengetahui kepada siapa turunnya, seandainya saya mengetahui bahwa ada yang lebih berilmu dari saya tentang kitab Allah yang (tempatnya) bisa dicapai oleh onta, maka saya akan mengadakan perjalanan kepadanya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain : “Tidak ada satupun ayat kecuali saya mengetahui pada kejadian apa dia turun”. (HR. Muslim)
B. Dalil Sam’i (Wahyu)
1. Surah Al-Baqarah ayat 137 :
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian)”.
1. Surah Al-Baqarah ayat 137 :
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian)”.
Dan kaum mu`minin pada waktu turunnya ayat adalah para shahabat Rasulullah, maka Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan keimanan mereka sebagai barometer dan timbangan bagi keimanan orang-orang selain mereka dan Allah menjadikan syarat benarnya keimanan ahlil kitab tatkala keimanan mereka sesuai dengan keimanan para shahabat radhiallahu ‘anhum.
Maka demikian pula pemahaman mereka radhiallahu ‘anhum terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan barometer dan timbangan bagi pemahaman orang-orang selain mereka dalam memahami kedua wahyu ini, maka setiap pemahaman –terhadap kedua wahyu- yang tidak pernah dipahami oleh satu orangpun dari kalangan shahabat, maka pemahaman tersebut adalah pemahaman yang bid’ah, batil dan menyimpang dari kebenaran dengan dalil ayat di atas.
2. Surah An-Nisa` ayat 115 :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Dan kaum mu`minin pada waktu turunnya ayat adalah para shahabat radhiallahu ‘anhum. Maka siapa saja yang menyelisihi pemahaman mereka dalam memahami suatu ayat atau hadits, Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka untuk menguasakan kesesatan atas mereka dan memasukkan mereka ke dalam Jahannam, wal’iyadzu billah. Maka ayat ini tegas menunjukkan bahwa menyelisihi para shahabat radhiallahu ‘anhum baik dalam hal keimanan, menhaj dan pemahaman termasuk dari dosa besar yang paling besar yang wajib kita mentahdzir darinya.
3. Surah At-Taubah ayat 100 :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya : “Allah Ta’ala mengabarkan akan keridhoanNya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar (para Shahabat) dan kepada yang mengikuti mereka dengan baik (dari kalangan tabi’in dan atba’ut tabi’in)”.
Maka ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah meridhoi keimanan mereka, pemahaman mereka, perkataan mereka dan amalan mereka radhiallahu ‘anhum ajma’in.
4. Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang hidup di zamanku (para shahabat) kemudian yang hidup setelahnya (tabi’in) kemudian yang hidup setelahnya (atba’ut tabi’in)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan juga datang dari hadits ‘Imran bin Hushoin riwayat Bukhary dan Muslim.
5. Hadits Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu :
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَطُوْبَى لِمَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَلِمَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي“Keberuntungan bagi orang yang melihatku (para shahabat), keberuntungan bagi orang yang melihat orang yang melihatku (tabi’in), keberuntungan bagi orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku (atba’ut tabi’in) dan beriman kepadaku”. (HR. Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shohihah no. 1254)
Dan ukuran kebaikan dan keberuntungan suatu zaman adalah dengan banyaknya orang-orang yang berilmu dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan memahami keduanya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan RasulNya. Karena kebaikan yang hakiki tidak mungkin bisa diraih kecuali dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang sholih serta hati yang selamat, maka yang jadi patokan dalam mengukur kebaikan adalah ilmu dan bertafaqquh dalam agama.
6. Hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma :
بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku (wahai kalian) walaupun hanya satu ayat”.(HR. Al-Bukhari)
6. Hadits Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu tentang khutbah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam haji Wada’, diantaranya :
لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
“Hendaknya orang-orang yang hadir diantara kalian (pada hari ini) menyampaikan (apa yang telah saya sampaikan) kepada orang-orang yang tidak hadir”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka Allah dan RasulNya telah mempercayai mereka (para shahabat) –sebagaimana dalam dua hadits ini- untuk menyampaikan ajaran agama ini kepada orangg-orang yang akan datang setelah mereka, dan hal ini mengandung terpercayanya ilmu, pemahaman dan amalan mereka radhiallahu ‘anhum.
C. Dalil Ijma’
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ …”. Baca Dzammut Ta`wil beserta pembahasan kewajiban mengikuti Salaf hal. 28-36.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ …”. Baca Dzammut Ta`wil beserta pembahasan kewajiban mengikuti Salaf hal. 28-36.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “ Sesungguhnya senantiasa para ‘ulama di setiap zaman sepakat dalam berhujjah, mereka mengambil perkataan dan perbuatan para shahabat dan tak satupun mengingkari hal ini. Karangan-karangan dan ucapan-ucapan mereka menjadi bukti dari hal itu. Dan berkata sebagian ‘ulama Al-Malikiyah : Para ulama di setiap zaman sepakat mengambil apa-apa yang datang dari shahabat di dalam berhujjah, hal ini terkenal dalam riwayat-riwayat para ulama, kitab-kitab dan ucapan serta pengambilan dalil-dalil mereka yang selalu berpatokan dari perkataan dan perbuatan para shahabat”. Baca Bashoir dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal.77-78.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh di atas apa yang para shahabat di atasnya dan mengikuti mereka”. Lihat : Syarah ushul I’tiqod Ahlussunnah Wal Jama’ah 1/176. Dan ini juga diucapkan oleh ‘Ali Ibnul Madini sebagaimana dalam Dzammut Ta`wil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar