Tak jauh beda
dengan keadaan syi’ah Rafidhah, kaum Sufi – yang sebenarnya masih memiliki
keterkaitan akidah dengan mereka – pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan
kekufuran, sebagai bahaya laten ditubuh kaum muslimin. Bahkan disaat kaum
muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan
spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan
wacana kekufurannya ditengah-tengah kaum muslimin.
Puncak kekufuran
yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa
siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia
akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia
memiliki sifat- sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir
ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci
Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat
kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.
Adapun munculnya
akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan
pula isapan jempol dan tuduhan semata.
Bukti Bukti Nyata
Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi
Hal ini dapat
dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj,
Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam
karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti
tadi.
1. Al Hallaj
berkata:
“Maha suci Dia
yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai
laahuut (ilahiyah)-Nya
Kemudian Dia
menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan
minum
Sehingga
makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan
pandangan mata” (Ath Thawaasin hal. 129)
“Aku adalah
Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi
Maha suci Engkau
Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku
Kemaksiatan
kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku
Marah-Mu adalah
marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku “
(Diwanul Hallaj
hal. 82)
“Kami adalah dua
ruh yang menitis jadi satu
Jika engkau
melihatku berarti engkau melihat-Nya
Dan jika engkau
melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin hal.
34)
2. Ibnu Faridh
berkata dalam syairnya:
Tidak ada shalat
kecuali hanya untukku
Dan shalatku
dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu
Arabi hal. 64)
3. Abu Yazid Al
Busthami berkata:
”Paling
sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya
sifat- sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada
dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al
Falaki)
Maka diapun
mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang
mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah
kepada-Nya?!
Lebih daripada
itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang
dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu
menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini
kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84)
Pada hal. 110 dia
pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah
dimiliki oleh seorang hamba”.
Akidah
Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak
yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak
ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat
Allah.
Ibnu Arabi
berkata:
Tuhan itu memang
benar ada dan hamba itu juga benar ada
Wahai kalau
demikian siapa yang di bebani syariat?
Bila engkau
katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati
Atau (bila)
engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?
(Fushulul Hikam hal. 90)
Penyair sufi
bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain
adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat hal.
27)
Dalil-Dalil Yang
Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula
Gusti
Sepintas, seorang
awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar
memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi
membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah
Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya
menurut sangkaan mereka?!
Mampukah orang
tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah
digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut?
Dali-dalil tersebut adalah:
1. Surat Al Hadid
5 :
وَهُوَ مَعَكُمْ
أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
yang artinya:
“Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”
2. Surat Qaaf 16
:
وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
yang artinya:
“Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya
sendiri.
3. Sabda
Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-
Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku
mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya,
mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan
kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)
Bantahan Terhadap
Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil
diatas
Dengan mengacu
kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka
kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang
sangat rapuh.
1. Tentang firman
Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan
Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan
mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki
rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat
bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana
kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)
2. Yang dimaksud
dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat
pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat
setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki
dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah
ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya
sendiri.
3. Al Imam Ath
Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah
bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan
dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai
anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul
Bari)
Bahkan Al Imam
Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya
di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri
dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul
Himam)
Beberapa Ucapan
Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini
1. Dzat Allah ada
dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya:
“Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al
Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di
setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan
Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan
bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)
2. Dzat Allah ada
di setiap hati seorang hamba.
Ini adalah
jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya
tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata;
“Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir
maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu
(Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As
Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih
justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal
375)
Beberapa Ayat Al
Qur’an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti
Ayat-ayat Al
Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti
benar-benar batil. Allah ta’ala berfirman :
وَجَعَلُوا لَهُ
مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ
artinya : “Dan
mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai
bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.”
(Az Zukhruf: 15)
فَاطِرُ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ
الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dia Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang
berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan
(pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy
Syura: 11)
Lihatlah, ketika
Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia.
Allah pun berfirman :
قَالَ لَنْ
تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ
تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى
صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ “
(artinya) : "Kamu
sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia
tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri
kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan.
Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang
pertama-tama beriman”. (Al A'raf: 143)
Dikirim oleh Al
Akh Hardi Ibnu Harun via Email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar