Tanya : Dalam hadits disebutkan : ‘Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah berbuat kesyirikan’.
Bukankah syirik itu maknanya menyekutukan Allah ? apakah orang yang
tidak mengerjakan shalat itu artinya telah menyekutukan Allah ?. Terima
kasih.
Jawab : Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, wa ‘alaa aalihi wa man waalah, wa ba’d. Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Hadits yang Anda maksud adalah sebagai berikut :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 82, At-Tirmidziy no. 2618 & 2620, Abu Daawud no. 4678, dan yang lainnya - dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu].
Dalam jalan lain dibawakan dengan lafadh :
لَيْسَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَالشِّرْكِ إِلَّا تَرْكُ الصَّلَاةِ، فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Tidak
ada penghalang antara seorang hamba dengan kesyirikan kecuali
meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah
berbuat kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1080, Al-Marwaziy dalam Ta’dhiim Qadrish-Shalaah 1/572-573, Abul-‘Abbaas Al-Asham dalam Hadiits-nya no. 54 & 130, Duhaim dalam Al-Fawaaid no. 49 & 150, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 1/345, dan yang lainnya; shahih - dari Anas radliyallaahu ‘anhu].
Syirik secara istilah didefinisikan sebagai :
جَعْلُ شريك لله في حقه
“Menjadikan sekutu bagi Allah dalam hak-Nya” [Tahdziibul-Lughah 2/1865, An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits hal. 476, dan Al-Kabaair hal. 38].
Namun para ulama menjelaskan bahwa kata syirik dalam sebagian nash kadang dimutlakkan untuk makna kekufuran. Abu Hilaal Al-‘Askariy rahimahullah berkata :
الْفرق
بَين الْكفْر والشرك أَن الْكفْر خِصَال كَثِيرَة على مَا ذكرنَا ، وكل
خصْلَة مِنْهَا تضَاد خصْلَة من الْإِيمَان ؛ لِأَن العَبْد إِذا فعل
خصْلَة من الْكفْر فقد ضيع خصْلَة من الْإِيمَان . والشرك خصْلَة وَاحِدَة
، وَهُوَ إيجاد آلِهَة مَعَ الله ، أَو دون الله ، واشتقاقه ينبئ عَن
هَذَا الْمَعْنى . ثمَّ كثر حَتَّى قيل لكل كفر شرك ، على وَجه
التَّعْظِيم لَهُ وَالْمُبَالغَة فِي صفته
“Perbedaan
antara kekufuran dan kesyirikan adalah : Bahwasannya kekufuran itu
terdiri dari banyak cabang sebagaimana telah kami sebutkan, dimana
setiap cabang kekafiran tersebut berlawanan dengan cabang iman. Hal itu
dikarenakan jika seorang hamba melakukan salah satu cabang kekufuran,
maka ia menghilangkan salah satu cabang iman. Adapun kesyirikan
hanyalah mempunyai satu cabang saja, yaitu mengadakan sesembahan lain
bersamaan dengan ia menyembah Allah, atau tanpa menyembah Allah. Dan
asal katanya menunjukkan makna ini. Kemudian syirik ini menjadi
bercabang banyak, hingga dikatakan bahwa kekufuran itu adalah
kesyirikan untuk menunjukkan besarnya perkara dan membesarkan
penggambaran sifatnya” [Al-Furuuq Al-Lughawiyyah, hal. 191].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
إن الشرك والكفر قد يطلقان بمعنى واحد، وهو الكفر بالله تعالى، وقد يفرق بينهما
“Sesungguhnya kesyirikan dan kekufuran kadang dimutlakkan pada satu makna, yaitu kekefuran pada Allah ta’ala. Dan kadang dibedakan maknanya antara keduanya” [Syarh Shahiih Muslim, 2/71].
Contohnya adalah sebagaimana hadits yang Anda tanyakan. Juga ada dalam ayat berikut :
وَأُحِيطَ
بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا
وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا
“Dan
harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua
tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk
itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia
berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku" [QS. Al-Kahfiy : 42].
Kata ‘syirik’ dalam ayat di atas maknanya kufur. Ini ditunjukkan pada ayat sebelumnya :
وَدَخَلَ
جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ
هَذِهِ أَبَدًا * وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ
إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا * قَالَ لَهُ
صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ
ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا
“Dan
dia memasuki kebunnya sedang dia dhalim terhadap dirinya sendiri; ia
berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku
tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di
kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang
lebih baik daripada kebun-kebun itu". Kawannya (yang mukmin) berkata
kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir
kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” [QS. Al-Kahfi : 35-37].
Mengomentari QS. Al-Kahfi ayat 42 di atas, Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
أي : يا ليتني عرفت نعم الله علي، وعرفت أنها كانت بقدرة الله، ولم أكفر به
“Maksudnya
adalah : ‘Aduhai kiranya dulu aku mengakui kenikmatan yang telah Allah
berikan kepadaku, mengakui hal itu terjadi karena kekuasaan Allah, dan
aku tidak mengkufurinya” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10/419].
Jadi kesimpulannya, syirik dalam hadits yang ditanyakan maknanya adalah kekufuran.
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, dimana dalam penulisan jawaban di atas banyak mengambil faedah dari kitab At-Takfiir wa Dlawaabithuhu karya Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah, hal. 72-73 & 81-83].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar