Taqabbalallahu minnaa wa minkum... "Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"

9 Apr 2010

Pernyataan Tentang Hakekat dan Syari’at

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (2697),Muslim (1718),Abu Dawud (4506) dan lbnu Majah( 14), dari hadits ‘Aisyah Radhiallahua’nha)

Tidak ada jalan selain jalan yang dilalui Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam, tidak ada hakekat selain hakekat yang dibawa olehnya, dan tidak ada syari’at selain syari’atnya. Begitu juga tidak ada keyakinan, merainkan keyakinan yang beliau yakini. Tak seorangpun yang dapat menemui Allah, mencapai keridhaan, Jannah dan kehormatan dari-Nva, melainkan hanya dengan mengikuti Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam baik lahir maupun batin.


Barangsiapa yang belum membenarkan apa yang beliau kabarkan, dan tidak konsekuen dalam mentaati apa yang beliau perintahkan, baik itu berkaitan dengan amalan batin yang terdapat di hati, ataupun amalan lahir yang dilakukan oleh tubuh, maka dia belum menjadi seorang mukmin apalagi menjadi wali Allah; meskipun dia memiliki kemampuan luar biasa bagaimanapun wujudnya !!

Barangsiapa yang beranggapan bahwa orang yang nyentrik dan yang cinta dengan berlebih-lebihan dalam beribadah itu wali Allah, padahal mereka tidak ber ittiba’ kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, baik dalam ucapan maupun perbuatannya, bahkan menganggap mereka mempunyai kelebihan dibanding orang-orang yang ittiba’ kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam, maka (orang yang berkeyakinan begitu) adalah Ahli Bid’ah yang sesat dan menyimpang dalam keyakinannya. sesungguhnya orang tadi, kalau bukan setan (berujud manusia), boleh jadi mungkin ia seorang Zukariyyun / hipokrit,orang sableng atau orang gila yang tidak lagi mukallaf.
[syaikh Muhammad Ahmad syakir pada halaman 437 dari buku keterangannya menyatakan: "Lafaz, Zukariyyun tersebut adalah lafazh asing. Berdasarkan keterangan dalam "AI-Qamus" (III : 240), arti zawakirah adalah: orang yang plinplan; ia menampakan diri sebagai ahli ibadah dan taat, sementara hatinya fasik yang suka membuat onar. Demikian dhukil oleh Al-Muqri dalam -Fathu Ath-Thayyib".]

Bagaimana mungkin orang seperti itu lebih diutamakan daripada para wali Allah yang ber ittiba’ kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam ? atau menyamainya?

Dan tak mungkin untuk dikatakan bahwa orang itu memang tampak tidak ittiba’ secara lahir, namun sebenarnya dia ittiba,secuia batin ? (keyakinan) itu juga satu kekeliruan. Karena berittiba’ kepada Rasul haruslah secara lahir maupun batin.
Yunus bin Abdil A’la Ash-shadafi pernah menyatakan:
” Aku pernah bertanya kepada Al-Irnam syafi’ie: ‘Aku mendengar sahabat kita Al-Laits menyatakan bahwa apabila kita melihat seseorang bisa berjalan di atas air, janganlah kita langsung menganggapnya sebagai wali Allah sebelum kita mengukur amalnya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Imam Asy-Syafi,ie menanggapi:

“Justru sahabat kita Al-Laits itu kurang tegas. Kita katakan: apabila kita melihat orang bisa berjalan di atas air, atau terbang di udara sekalipun, janganlah kita menganggapnya sebagai wali, selelum kita mengukur amalnya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”,

Sementara sekte Al-Malamiyyah yaitu segolongan kaum yang suka mengamalkan perbuatan-perbuatan tercela, namun mereka mengatakan:

“Sesungguhnya dalam batin, kami tetap berittiba’ kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam.”
Mereka menghendaki, agar amalan mereka tidak membuat mereka menjadi orang yang riya’.
Akhimya mereka malah mengganti kebatilan (yang hendak mereka hindari) itu dengan kebatilan lain.
(Ibnul Jauzi menyebutkan dalam ‘Talbisu lblis’: “Mereka itu termasuk golongan orang-orang sufi yang gemar mengganyang berbagai macam kemaksiatan- Mereka menyatakan: “Biarlah martabat kami jatuh dalam pandangan manusia, sehingga kami tak lagi memiliki kedudukan.”)

Adapun mereka yang beribadah dengan metoda meditasi dan nyepi, bahkan sampai mengindari shalat Jum’at dan berjama’ah, mereka termasuk golongan orang-orang yang tersesat dalam upayanya itu di dunia, namun mereka beranggapan bahwa mereka tengah berbuat baik. Keyakinan itu sudah terpatri dalam hati mereka. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.:

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at (berjamaa’h) sebanyak tiga kali, karena malas dan bukan karena berudzur, maka AIIah akan menutup pintu hatinya”

Maka setiap orang yang menyeleweng dari ittiba’ kepada Rasul; kalau dia seorang berilmu, ia akan dimurkai Allah; kalau tidak, maka dia orang yang sesat.

Adapun orang yang bertumpu kepada kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidhir‘Alahima As-Salam; tentang dibolehkannya seseorang meninggalkan petunjuk wahyu dengan mengikuti Ilmu Ladunni, yang diyakini adanya oleh orang yang kehilangan taufik Ilahi; maka orang yang berkeyakinan begitu adalah kafir alias zindiq. Karena sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihi As-SaIam tidaklah diutus kepada Nabi Khidhir. Sehingga Nabi Khidhir tidaklah diperintahkan untuk berittiba’ kepadanya.
Oleh sebab itu beliau bertanya kepada Nabi Musa:
“Apakah engkau Musa-nya Bani Israil?”
Nabi Musa menjawab;
“Betul.”
Sedangkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. diutus kepada segenap jin dan manusia . Bahkan kalau Nabi Isa turun ke bumi nanti, beliau juga hanya berhukum dengan syari’atnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.

Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa dirinya bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. bisa disejajarkan dengan Nabi Musa bersama Nabi Khidhil, atau dia memungkinkan hal itu berlaku untuk salah seorang di antara manusia; maka orang itu harus memperbaharui Islamnya kembali dan mengucapkan kembali syahadat dengan benar. Karena dia telah keluar dari dienul Islam secara mutlak.
Dan tak mungkin dia termasuk golongan wali-wali Allah. Tetapi justru dia tergolong wali-wali setan. Konteks ini akan membedakan antara siapa yang zindiq dan siapa orang yang lurus. Gunakanlah kaidah ini, niscaya engkau akan melihat hasilnya.
Demikian juga halnya orang yang berkeyakinan, bahwa – apabila mereka berthawaf – Ka’bah-lah yang bergerak mengitari rnereka kemanapun mereka pergi.
lngatlah, apakah dahulu Ka’bah bisa keluar menemui Rasuiullah shalallahu ‘alaihi wassalam. di Hudaibiyyah tatkala beliau diboikot untuk tidak boleh mendekatinya, lalu mengitari beliau? padahal kala itu beliau shalallahu ‘alaihi wassalam. berkeinginan sangat untuk dapat (sekedar) memandangnya
(disadur dengan perubahan dari Tahdzib Syarh At-Thahawiyah, Penulis : Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi, Edisi Indonesia : Dasar Dasar Aqidah Menurut Ulama Salaf, Penerjemah : Abu Umar Basyir Al-Medani, Pustaka At Tibyan Solo, Cetakan Pertama Tahun 1416/1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright 2010@All Rights Reserved By Abu Rumaisha
a
h
s
i
a
m
u
R
u
b
A