Amar ma'ruf nahi
munkar adalah poros penting adalam agama, walaupun hal itu sering
disalahgunakan. Terkadang untuk kepentingan politik, hawa nafsu dan lain-lain.
Banyak para pemuda yang memiliki semangat untuk memperjuangkan Islam salah
langkah dalam hal ini. Dengan hanya berbekal sedikit ilmu dan besar semangat,
mereka menyeret umat Islam yang tidak berdosa kepada pertumpahan darah yang
sia-sia. Mereka tidak mengerti adab-adab dan tingkat-tingkat beramar ma'ruf nahi
munkar sehingga mereka justru mengaburkan makna amar ma'ruf nahi
munkar.
Hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering digunakan dan salah ditafsirkan
adalah:
عَنْ أَبِي
سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
و سلم يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ
أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Dari Abu Sa'id
Al-Khudri radliyallahu 'anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa di antara kalian melihat
sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia
belum sanggup, maka hendaklah ia menggunakan lisannya. Jika ia masih belum
sanggup, maka hendaklah ia menggunakan hatinya. Itu adalah selemah-lemah
keimanan. (HR Muslim dalam Shahihnya no. 78-79, Turmudzi dalam Sunannya no.
2172, An-Nasa`i dalam Sunannya, no. 5023-5024, Ahmad dalam Musnadnya 3/10,20,49,
Abu Dawud dalam Sunannya no. 1140, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1275, dan Abu
Ya'la Al Mushuli dalam Musnadnya no. 1005 tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari.
(An-Nadliyah fi takhrij 'arba'in An-Nawawiyah))
Syarah
Hadits
Hadits ini adalah
hadits yang sangat agung, mengandung kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar[1]
yang merupakan poros terbesar dalam agama ini. Allah mengutus para nabi dengan
memikul kewajiban itu. Kalau hamparan amar ma'ruf nahi munkar digulung, akan
hancurlah agama ini. Timbullah kerusakan dan hancurlah
negeri-negeri.[2]
Berkenaan dengan
asbabul wurud hadits ini dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Marwan bin
Al-Hakam bin Abil 'Ash, seorang khalifah Bani Umayah di Syam, mendahulukan
khutbah sebelum shalat pada hari Ied. Ketika itu seseorang berdiri seraya
berkata: "Shalat dulu, kemudian khutbah." Maka Abu Sa'id mengomentari sikap
orang tadi dengan ucapannya: "Orang ini telah menunaikan kewajibannya, karena
aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda... (beliau
menyebutkan hadits di atas)..." dan seterusnya.
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa yang melakukannya adalah Abu Sa'id sendiri. Beliau
bercerita: "Kaum muslimin terus dalam keadaan yang demikian (shalat lalu
khutbah), hingga aku keluar (ke lapangan) bersama Marwan yang ketika itu
menjabat amir kota Madinah di hari Idul Fithri atau Adlha. Ketika kami sampai di
lapangan, ternyata di sana ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt.
Kemudian ia bermaksud naik ke mimbar, padahal belum shalat. Maka kutarik
bajunya, tetapi dia membalas menarik pula. Ketika sudah berada di atas, dia
berkhutbah sebelum shalat. Aku katakan kepadanya: "Demi Allah, engkau telah
merubah." Marwan mengatakan lagi: "Hai Abu Sa'id, telah hilang apa yang engkau
ketahui." Aku katakan lagi: "Apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang
tidak kuketahui." Marwan menambahkan: "Demi Allah, sesungguhnya orang-orang ini
tidak mau duduk mendengarkan kami setelah shalat maka aku berkhutbah sebelum
shalat."[3]
Imam An-Nawawi
mengatakan: "Dimungkinkan hal ini adalah dua peristiwa yang salah satunya adalah
kisah Abu Sa'id, sedang yang lainnya adalah kisah orang lain di hadapan Abu
Sa'id.[4]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum amar ma'ruf nahi munkar dalam Majmu' Fatawa
28/126: "Tidak wajib atas setiap person tertentu, melainkan fardlu kifayah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur`an." (Lihat Dlawabith Amar Ma'ruf, Ali
Hasan hal. 23).
Adab-adab Amar
Ma'ruf Nahi Munkar
Ibnu Qudamah
dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 123-129 secara ringkas mengatakan bahwa
rukun-rukun amar ma'ruf nahi munkar ada empat:
Rukun pertama,
pelaku amar ma'ruf seorang yang mukallaf[5], muslim dan sanggup. Walaupun
demikian seorang anak usia tamyiz[6] juga dapat beramar ma'ruf nahi munkar dan
akan mendapatkan pahala karenanya walaupun tidak wajib atasnya. Sebagian orang
ada yang mengatakan bahwa syarat seseorang beramar ma'ruf nahi munkar harus
memiliki sifat 'adalah (meninggalkan maksiat) dan mengatakan bahwa orang fasik
tidak boleh beramar ma'ruf berdasarkan ayat:
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ...
Apakah kalian
menyeru manusia berbuat kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian. (Al-
Baqarah: 44).
Tapi pernyataan
ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Ada pula yang
mensyaratkan si pelaku amar ma'ruf nahi munkar harus mendapatkan ijin dari imam
atau penguasa sedangkan rakyat tidak boleh melakukannya. Pendapat ini keliru
sebab ayat-ayat dan hadits-hadits secara umum menunjukkan bahwa setiap orang
yang melihat kemungkaran, kemudian mendiamkannya berarti dia bermaksiat. Maka
pengkhususan harus dengan izin sang imam akan mempersulit.
Yang mengherankan
pula, Rafidlah menambah dengan tidak boleh amar ma'ruf sebelum imam yang ma'ruf
keluar. Bila mereka datang kepada hakim untuk meminta hak-hak mereka, maka
katakan kepada mereka: Permintaan tolong dan pengembalian hak-hak kalian berarti
amar ma'ruf nahi munkar padahal masanya belum datang karena imam belum
keluar.
Amar ma'ruf nahi
munkar memiliki lima tingkatan:
1. Mengenalkan
kebenaran.
2. Nasehat dengan
ucapan yang lembut.
3. Cercaan dan
makian. Yang kita maksud di sini bukan cercaan yang kotor melainkan kita katakan
padanya seperti: Wahai jahil! Dungu! Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Dan
lain- lain.
4. Mencegah
dengan keras, seperti menghancurkan alat-alat musik dan menumpahkan
khamr.
5. Ancaman dan
hukuman dengan pukulan, atau langsung dipukul sampai ia berhenti dari
perbuatannya. Tingkatan yang kelima ini membutuhkan imam, berbeda dengan yang
sebelumnya, sebab dikhawatirkan terseret kepada fitnah.
Jika ada yang
bertanya apakah boleh seorang anak beramar ma'ruf kepada ayahnya, hamba kepada
tuannya, istri kepada suaminya, atau rakyat kepada penguasa? Jawabnya: Pada
asalnya hal itu boleh bagi semuanya dan sudah kita bawakan lima tingkatan tadi.
Maka bagi anak tingkatannya adalah dengan mengenalkan kebenaran kemudian nasehat
dengan lembut. Adapun tingkatan yang ketiga dan seterusnya selayaknya dilakukan
oleh tuan kepada budak atau suami terhadap istri. Adapun rakyat kepada penguasa
perkaranya lebih keras dari anak, tidak ada kewajiban bagi rakyat kecuali dengan
pengenalan dan nasehat.
Disyaratkan juga
si pelaku itu sanggup untuk mengingkari. Adapun yang lemah tidak ada kewajiban
baginya kecuali mengingkari dengan hati. Tidak gugur kewajiban ini bagi yang
lemah tubuhnya melainkan karena dikhawatirkannya dia terkena gangguan. Itulah
makna kelemahan di sini.
Begitu pula bila
dia tahu bahwa pengingkarannya diduga tidak bermanfaat, maka terbagi dalam 4
keadaan:
1. Bila dia tahu
kalau kemungkaran itu bisa lenyap dengan ucapan atau perbuatannya, tanpa ia
terkena bahaya, maka wajib baginya untuk melakukannya.
2. Bila dia tahu
bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan apabila dia berbicara akan dipukul, maka
gugurlah kewajiban atasnya.
3. Bila dia tahu
bahwa ucapannya tidak bermanfaat, tetapi dia tidak khawatir terkena bahaya, maka
tidak wajib baginya karena tidak bermanfaat. Akan tetapi hal itu disukai untuk
menunjukkan syiar-syiar Islam dan untuk mengingatkan manusia kepada
agama.
4. Bila dia tahu
bahwa dia akan terkena bahaya, tetapi kemungkaran tersebut akan hilang dengan
sikapnya seperti menghancurkan alat-alat musik atau menumpahkan khamr padahal
dia tahu bahwa dia akan dipukul setelah itu, maka kewajiban gugur darinya dan
hukumnya tinggal mustahab, berdasarkan sabda Nabi:
أَفْضَلُ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling
utama adalah ucapan yang benar yang disampaikan di hadapan penguasa yang jahat.
(HR. Abu Said, Abu Umamah, Thariq bin Syihab, Jabir bin Abdullah dan Suhri
secara mursal, lebih rinci lihat Ash-Shahihah no. 491)
Tidak terjadi
perselisihan tentang bolehnya seorang muslim menyerang barisan orang kafir,
walau akhirnya dia harus mati. Tapi bila dia tahu dia tidak bisa mengalahkan
orang kafir seperti orang buta mencampakkan dirinya ke tengah-tengah musuh, maka
haram hukumnya. Begitu pula bila dia melihat seorang fasiq yang minum khamr dan
di tangannya ada pedang dan dia tahu kalau dia melarang minum khamr, dia akan
dibunuh, maka tidak boleh baginya untuk melakukannya. Karena hal ini tidak
memberi pengaruh yang bisa memberi manfaat. Hanya disukai baginya untuk
mengingkari bila dia sanggup untuk menghapuskan kemungkaran tersebut. Dan tumbuh
manfaat dengan sikapnya itu seperti orang yang menyerang barisan orang-orang
kafir dan lain-lain.
Jika dia tahu
bila teman-temannya juga akan terkena bahaya, maka tidak boleh baginya untuk
melakukannya karena dia tidak kuat untuk menolak kemungkaran itu kecuali dengan
menyeret kemungkaran yang lain. Hal itu tidak dianggap mampu sedikitpun. Dan
yang dimaksudkan dengan tahu di sini adalah perkiraan kuat. Siapa yang mengira
dengan kuat bahwa dia akan terkena bahaya maka tidak wajib baginya untuk
mengingkari. Jika kuat perkiraannya bahwa dia tidak akan terkena bahaya, maka
wajib baginya melakukannya. Bukan pengecut atau pemberani yang berlebihan,
tetapi dinilai dengan tabiat yang wajar. Yang dimaksud dengan bahaya di sini
adalah seperti pemukulan atau pembunuhan. Begitu juga perampasan harta atau
diumumkan di negeri itu sebagai orang jelek. Adapun penghinaan dan cercaan maka
tidak menjadi alasan untuk diam sebab orang yang beramar ma'ruf biasanya akan
menemui hal itu. (Masih dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin)
Rukun kedua,
"kemungkaran itu ada ketika itu dengan jelas". Makna mungkar adalah dilarang
dilakukan menurut syariat[7]. Mungkar lebih umum daripada maksiat. Bila
seseorang melihat anak kecil atau orang gila meminum khamr, maka wajib baginya
untuk menumpahkan dan melarangnya. Begitu juga bila lelaki gila berzina dengan
wanita gila atau dengan hewan maka wajib baginya untuk
mencegah.
Kata "ada ketika
itu", berarti bukan terhadap orang yang telah selesai meminum khamr atau
sejenisnya. Dan juga bukan terhadap apa yang akan didapati dalam keadaan lain,
seperti orang yang mengetahui melalui tanda-tanda bahwa ada yang ingin "minum"
di malam hari. Tidak ada amar ma'ruf terhadap orang tersebut kecuali dengan
nasehat.
Kata "dengan
jelas", berarti orang yang melakukan maksiat tidak dengan sembunyi-sembunyi di
rumahnya dan mengunci pintunya. Orang yang bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi
tidak boleh dimata-matai, kecuali sampai diketahui oleh orang yang di luar rumah
seperti suara alat- alat musik. Bagi orang yang mendengarkannya, hendaknya masuk
dan menghancurkannya. Atau jika keluar bau khamr, menurut pendapat yang benar
boleh diingkari.
Juga disyariatkan
dalam mengingkari kemungkaran harus benar-benar diketahui bahwa hal itu mungkar,
bukan termasuk perkara ijtihad. Setiap yang masih dalam hal ijtihad, tidak
dikenai hal ini.
Rukun ketiga,
syarat orang yang diingkari. Cukup dengan sifatnya sebagai manusia. Tidak
disyaratkan orang tersebut harus mukallaf dulu, sebagaimana yang telah kita
jelaskan tadi, maka seperti terhadap anak-anak dan orang-orang gila tetap
diingkari.
Rukun keempat,
tentang amar ma'ruf itu sendiri. Hal ini memiliki beberapa tingkat dan
adab:
1. Si pelaku amar
ma'ruf memang mengetahuinya, tidak boleh baginya untuk mencari pendengaran dari
rumah yang lain untuk mendengar suara musik atau sengaja mengendus bau khamr.
Atau menyentuh sesuatu yang telah ditutup dengan pakaian agar ia tahu apa yang
ada di dalamnya. Atau mencari-cari kabar kepada para tetangganya agar diberi
tahu apa yang terjadi. Tetapi apabila ia diberi tahu oleh dua orang yang adil
bahwa si A meminum khamr, maka ketika itu dia boleh masuk dan
mengingkari.
2. Mengenalkan
kebenara karena ada orang yang dengan jahil melakukan sesuatu karena menganggap
perbuatan itu tidak mungkar dan bila dia tahu dia akan meninggalkannya. Maka
wajib memberitahukannya dengan lembut. Katakan kepadanya: "Memang manusia ketika
lahir tidak langsung menjadi orang yang tahu. Kita tidak mengetahui tentang
masalah agama sampai para ulama mengajari kita." Karena mungkin juga temanmu itu
jauh dari para ulama. Bersikap lembutlah kepadanya agar dia mengerti tanpa
menyakitinya. Barangsiapa diam ketika melihat kemungkaran dengan alasan tidak
mau menyakiti sesama muslim padahal dia harus berbicara, maka hal ini sama
dengan mencuci darah dengan air seni.[8]
3. Melarang
dengan nasehat dan menyuruhnya takut kepada Allah dengan menyampaikan kabar-
kabar yang berisi ancaman. Ceritakan kepadanya kisah-kisah para salaf. Lakukan
hal itu dengan rasa kasih sayang dan lembut tanpa perlu mencaci dan emosi. Di
sini banyak terjadi kekeliruan yang harus dijaga, yaitu seseorang yang tahu
ketika menasehati menganggap dirinya paling mulia karena dia tahu kemudian
merendahkan lawan bicara karena tidak tahu. Hal itu sama dengan seseorang yang
ingin menyelamatkan orang lain dengan membakar dirinya ke dalam api. Ini adalah
kebodohan yang sangat, kehinaan yang hebat dan tipuan setan. Maka dibutuhkan
barometer, agar seyogyanya pelaku amar ma'ruf tadi menguji dirinya. Yaitu dengan
mengingkari kemungkaran terhadap dirinya sendiri. Jika ternyata dia mengikuti
hawa nafsunya, bertujuan agar terkenal melalui amar ma'rufnya tadi, maka
hendaklah ia takut kepada Allah dan mengintrospeksi dirinya
dahulu.
Dikisahkan, ada
yang bertanya kepada Daud At-Tha'i: "Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang
yang menemui para umara, kemudian menyuruh mereka kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang mungkar? Daud menjawab: "Aku khawatir dia akan dicambuk."
Penanya: "Dia sanggup untuk menghadapinya." Daud: "Aku khawatir dia akan terkena
pedang." Penanya: "Ia sanggup." Daud: "Aku takut dia terkena penyakit yang
berbahaya, yaitu 'ujub (bangga terhadap dirinya sendiri)."
4. Cercaan dan
makian dengan ucapan yang keras dan menusuk. Cara ini dipilih bila tidak bisa
dicegah dengan lembut dan menunjukkan sikap mengejek peringatan dan nasehat
serta terus melakukan perbuatan tersebut. Yang kita maksudkan di sini bukan
dicerca dengan ucapan yang mengandung kekejian dan dusta. Tapi katakan
kepadanya: "Hai fasiq, dungu, bodoh, apakah kamu tidak takut kepada Allah?"
Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim:
أُفٍّ لَكُمْ
وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ. (الأنبياء:
٦۷)
Ah, celaka kalian
dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal? (Al-
Anbiya`: 67)
5. Merubah dengan
tangan, seperti menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamr dan mengusir
penghuni rumah curian dari rumah tersebut. Tingkatan ini memiliki 2
adab:
a. Jangan
langsung mengadakan perubahan selama orang yang diingkari sanggup untuk memikul
hal tersebut (yaitu) bila dia mau pergi dari tempat yang dirampasnya, tidak
perlu sampai menyeretnya.
b. Menghancurkan
alat musik itu sampai benar-benar tidak bisa dipergunakan lagi. Jangan lebih
dari itu. Dan berhati-hati ketika menumpahkan khamr agar jangan sampai memecah
bejana- bejana lain jika mungkin. Jika dia tidak sanggup untuk itu kecuali harus
dengan melempar bejana itu dengan batu atau yang sejenis, itu boleh baginya.
Dengan itu akan hilang harga bejana itu. Kalau dia menutup-nutupi khamr dengan
tangannya dan hanya bisa dijalankan dengan jalan tangan si pemilik juga dipukul,
maka tidak mengapa. Bila khamr berada dalam bejana yang mulutnya kecil, yang
bila ditumpahkan akan memakan waktu yang lama dan dia akan ditemui pemiliknya
kemudian dicegah, maka hendaklah dia memecahkannya. Ini dianggap
udzur.
Jika ada
pertanyaan: Apakah boleh memecahkannya dengan paksa dan menarik penghuni untuk
meninggalkan rumah dengan paksa?
Jawabnya: Itu
boleh untuk penguasa. Tidak untuk rakyat karena tidak adanya segi ijtihad dalam
hal itu.
6. Dengan
ancaman, seperti: "Tinggalkan perbuatan ini, kalau tidak saya akan buat kamu
jadi begini dan begitu!" Jika perlu untuk dipukul tidak
mengapa.
Adab dalam hal
ini adalah jangan mengancam dengan ancaman yang tidak boleh dilakukan seperti:
"Akan kuhancurkan rumahmu dan kuculik istrimu." Jika dia mengucapkan dengan
sungguh-sungguh, maka haram hukumnya. Jika tidak, berarti
dusta.
7. Langsung
memukul dan menendang dan lain-lain selain senjata. Itu boleh bagi perorangan
dengan syarat terpaksa dan seperlunya. Jika kemungkaran itu sudah lenyap
selayaknya dihentikan.
8. Dia tidak
sanggup sendiri dan membutuhkan teman dengan mengangkat senjata, karena
kadang-kadang si pelaku juga memiliki teman-teman yang menjurus kepada
peperangan. Yang benar dalam hal ini butuh kepada ijin Imam karena menjurus
kepada fitnah dan kerusakan. Dan ada juga yang menyatakan tidak perlu ijin.
(Selesai ucapan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul
Qashidin)
Tentang Sifat si
Pelaku Amar Ma'ruf
Di atas sudah
disebutkan adab-adab pelaku amar ma'ruf dengan rinci. Dan kesimpulannya ada tiga
sifat:
1. Ilmu tentang
amar ma'ruf dan batas-batasnya agar berada dalam batas
syariat[9].
2. Wara' karena
dia kadang-kadang tahu tentang sesuatu tetapi tidak mengamalkannya karena suatu
hal.
3. Baik akhlak.
Ini dasar agar bisa menahan akibat. Karena kemarahan bila bergejolak tidak bisa
ditahan dengan semata-mata ilmu dan wara' dalam memadamkannya selama tidak ada
baik akhlak secara tabiat.
Sebagian para
salaf berkata: "Jangan seseorang menyuruh kepada yang ma'ruf kecuali dengan
lembut dan juga ketika melarang. Kasih sayang ketika menyuruh dan melarang.
Paham dalam menyuruh dan melarang."
Bersikap lembut
dalam beramar ma'ruf, itu jelas. Berdasarkan ayat:
فَقُوْلاَ لَهُ
قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى. (طه:
٤٤)
Katakan kepadanya
(Fir'aun) perkataan yang lembut. (Thaha: 44)
Pernah seorang
pemuda lewat dalam keadaan menyeret pakaiannya (isbal), maka teman-teman Shilah
bin Usyaim mencercanya dengan keras. Maka Shilah berkata: "Biarkanlah aku
menyelesaikannya." Kemudian Shilah berkata kepada pemuda itu: "Wahai anak
saudaraku, aku ada perlu sedikit denganmu." Pemuda itu berkata: "Apa itu?"
Shilah: "Aku ingin agar engkau meninggikan sarungmu." Pemuda: "Baiklah kalau
begitu." Maka pemuda itu pun mengangkat sarungnya. Kemudian Shilah beralih
kepada rekan-rekannya dan berkata: "Bukankah ini yang kalian maukan. Jika kalian
mencacinya dan menyakiti dia akan membalas kalian."
Beberapa Tujuan
dalam Beramar Ma'ruf
Ibnu Rajab dalam
Iqadhul Himam hal. 465 berkata: "Ketahuilah bahwa beramar ma'ruf dan nahi munkar
kadang-kadang karena mengharap pahala, dosa jika ditinggalkan, kemarahan Allah
karena larangan-Nya dilanggar, menasehati kaum muslimin dan kasih sayang kepada
mereka, mengharap mereka terlepas dari dosa-dosa yang akibatnya mereka akan
terkena hukuman Allah di dunia dan akhirat. Dan juga karena memuliakan dan
mencintai Allah, karena Dia yang paling berhak untuk ditaati, diingat dan tidak
dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri. Dan menebus dengan jiwa dan harta
terhadap kehormatan Allah yang dilanggar, sebagaimana yang diucapkan oleh
sebagian salaf: 'Aku ingin agar semua manusia taat kepada Allah walau dagingku
harus digunting.'" (Iqadhul Himam)
Dalam amar ma'ruf
nahi munkar ada sekelompok orang yang meninggalkannya sama sekali. Ada yang
tidak mengetahui patokan dan batas-batasnya hingga bertindak melampaui batas.
(Dlawabith, Ali Hasan hal. 18)
Beberapa faedah
yang dapat dipetik dari pembahasan ini adalah:
1. Amar ma'ruf
nahi munkar termasuk bagian dari iman. Oleh sebab itu Imam Muslim memasukkan
dalam kitabul iman.
2. Siapa yang
sanggup untuk melaksanakan bagian-bagian itu, lebih baik dari yang
meninggalkannya karena lemah, walau diberi udzur.
3. Siapa yang
khawatir terhadap dirinya akan dipukul, dibunuh atau dirampas hartanya, maka
gugur kewajiban darinya dengan tangan dan lisan, tapi wajib mengingkari dengan
hati. Barangsiapa yang hatinya tidak mengingkari yang mungkar berarti telah
lenyap keimanan darinya.
4. Sangat
perlunya kita melihat contoh dari para salaf dalam memahami hadits ini agar
tidak salah paham.
5. Harus berilmu
hingga tahu mana yang harus disikapi dengan keras dan lembut agar jangan
terbalik. Hal ini menunjukkan pentingnya ilmu dan bimbingan para
ulama.
Wallahu a'lam
bish shawab.
Maraji':
Shahih Muslim,
Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi (206-261 H), Dahlan, tanpa
tahun.
Sunan Turmudzi,
Abu Isa Muhammad bin Isa (209-279 H), Darul Kutub 'Ilmiyah, tahqiq Ahmad Syakir,
tanpa tahun.
Sunan Nasa`i,
Ahmad bin Syu'aib (215-303 H), Darul Ma'rifah, cet. II, 1412 H-1992
M.
Musnad Ahmad,
Ahmad bin Hambal (164-241 H), Darul Kutub Ilmiyah, cet. I, 1413 H-1993 M. Adapun
naskah keduanya tanpa tahun dan tidak jelas penerbitnya.
Sunan Abu Daud,
Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani (202-275 H), Darul Fikr, Tahqiq Shidqi M.
Jamil. 1414 H – 1994 M.
Sunan Ibnu Majah,
Muhammad bin Yazid bin Majah (207-273/275 H), Darul Rayyan Lit Turats, tahqiq M.
Fuad Abdul Baqi, tanpa tahun.
Musnad Abu Ya'la,
Ahmad bin Ali At-Tamimi (210-307 H), Darul Qiblat, tahqiq Irsyadul Haq Al-
Atsari, cet. I, 1408 H – 1988 M.
Qawa'id wal
Fawa'id, Nadhim Sulthan, Darul Hijrah, cet. II, 1410 H.
Mukhtashar
Minhajul Qashidin, Imam Ibnu Qudamah (wafat 742 H), Al-Maktab Al-Islami, cet.
VII, tahqiq Zuhair Syawais.
Fathul Bari, Imam
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (773-852 H), Darud Diyan Lit Turats, Isyraf
Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib, Muhammad Fu'ad Abdul Baqi dan Qushay Muhibbuddin
Al- Khatib, cet. II.
Syarh An-Nawawi,
Yahya bin Syaraf An-Nawawi (631-676 H), I'dad Ali Abdul Hamid, Darul Khair, cet.
II, 1414 H – 1994 M.
Majmu' Fatawa,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H), Jam'u wat Tartib Abdurrahman bin
Muhammad, Isyraf Ar-Riyasatul Ammah Li Syu'inil Haramain, tanpa
tahun.
Dhawabith, Ali
Hasan, Al-Ashalah, cet. I, 1414 H – 1994 M.
Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah, M. Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktabah Al-Ma'arif, 1415
H – 1995 M.
Iqadhul Himam,
Salim Al-Hilali, Darul Ibnul Jauzi, 1414 H – 1993 M.
Sumber: Majalah
Salafy edisi XXV/1418 H/1998 M, Rubrik Nasehati
[1] Qawaid wa
Fawaid, Nadhim Sulthan hal. 285
[2] Mukhtashar
Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 131
[3] Fathul Bari
3/102
[4] Syarah
An-Nawawi 1/217
[5] Mukallaf
adalah seorang dewasa yang sudah dikenai beban syari'at
[6] Tamyiz adalah
seorang anak yang sudah mulai dapat membedakan dan berpikir
benar
[7] Makna ini
sebagai bantahan terhadap pernyataan Syafi'i Ma'arif dalam majalah Suara
Muhammadiyah no. 01/02 th ke 83 hal. 20, sebagai berikut: "Definisi ma'ruf
adalah sesuatu yang dikenal baik dan diterima oleh akal maupun masyarakat.
Sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh akal
sehat."
[8] Yakni maunya
membersihkan tetapi dengan sesuatu yang lebih jelek dan lebih
najis.
[9] Hal ini
sangat penting, karena jika tanpa ilmu niatnya yang baik tidak akan tercapai
karena salah dalam penerapan. Yang seharusnya disikapi dengan keras, dia sikapi
dengan lembut atau sebaliknya. (pen)
Penulis: Al
Ustadz M. Ali Ishmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar