MUQADDIMAH
Sesungguhnya kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allâh Ta'âla dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah. Allâh Ta'âla telah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menunjukkan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Berkaitan dengan rincian ibadah, Allâh Ta'âla tidak memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk menentukan dan menetapkannya. Karena akal tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahui mana ibadah yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Yang berhak menetapkan syarat-syarat sah suatu ibadah adalah Allâh Ta'âla semata, baik melalui al-Qur’ân maupun melalui lisan nabi-Nya. Maka seseorang tidak berhak mengaitkan keabsahan suatu ibadah dengan sesuatu hal kecuali jika ada dalil yang menjadi landasannya. Karena penentuan syarat suatu ibadah merupakan wewenang Allâh Ta'âla yang telah mensyariatkan ibadah itu. Barangsiapa menentukan syarat sah suatu ibadah berdasarkan akal semata maka hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allâh Ta'âla.
Di samping itu, perlu dipahami juga bahwa tidak diperbolehkan mengaitkan suatu ibadah dengan suatu syarat yang didasarkan pada dalil lemah. Karena dalil yang lemah tidak dapat dijadikan pijakan dalam permasalahan ahkam (hukum-hukum syar’i).
MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal penetapan syarat sah suatu ibadah. Di mana, keberadaan sesuatu bisa ditetapkan menjadi syarat sah suatu ibadah jika didasari dalil yang menjelaskannya.
Maka sebagaimana hukum asal suatu ibadah itu adalah terlarang, maka demikian pula syarat-syarat ibadah dan tata caranya, hukum asalnya juga terlarang, dan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkannya.
DALIL KAIDAH INI
Kaidah ini masuk dalam keumuman larangan Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Juga masuk dalam keumuman kaidah ini bahwa hukum asal suatu ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya. Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allâh Ta'âla:

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? (QS. as-Syûrâ/42:21)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahimahullâh– ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Ta'âla dan tidak pula dari Rasul-Nya.”[1]
Dan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah –radhiyallâhu 'anha–:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[2]
Imam Ibnu Rajab al-Hambali –rahimahullâh– ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Teks hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”[3]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut:
- Sebagian Ulama’ mensyaratkan kehadiran minimal empat puluh orang untuk keabsahan shalat Jum’at. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[4] Namun, jika kita cermati, ternyata tidak ada dalil yang mendasarinya kecuali dalil yang lemah. Di antaranya adalah hadits Jâbir bin ‘Abdullâh –radhiyallâhu 'anhu–:
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ
Telah berlalu sunnah bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at.”[5]
Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.
Demikian pula, sebagian Ulama ada mensyaratkan kehadiran sejumlah dua belas orang untuk keabsahan shalat Jum’at, sebagaimana dipegang oleh madzhab Mâliki. Pendapat ini meskipun didasari oleh dalil yang shahîh namun tidak secara tegas menunjukkan tentang penetapannya sebagai syarat.[6]
Oleh karena tidak ada dalil yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk keabsahan shalat jum’at, maka sebagian Ulama’ memandang sahnya shalat Jum’at yang dihadiri oleh dua orang saja, karena dua orang sudah terhitung jama’ah. Sebagian Ulama lainnya berpendapat sahnya shalat Jum’at dengan dihadiri tiga orang, di mana satu orang berkhutbah dan dua orang lainnya mendengarkan khutbah. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullâh–, dan ini adalah pendapat yang kuat karena menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli ushul fiqh bahwa jumlah jama’ paling sedikit adalah tiga.[7]
- Sebagian Ulama mensyaratkan tujuh basuhan dalam membersihkan najis. Ini adalah sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullâh–.[8] Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar –radhiyallâhu 'anhu–:
اِغْسِلُوْا اْلأَنْجَاسَ سَبْعًا
Cucilah najis sebanyak tujuh kali
Akan tetapi hadits tersebut tidak memiliki sanad yang shahih, bahkan sekedar disebutkan dalam kitab-kitab fiqih tanpa penyebutan sanadnya. Maka, dalam membersihkan najis tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam membasuhnya, kecuali najis jilatan anjing yang harus dibasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah. Dikecualikan pula dalam istijmâr untuk membersihkan najis yang keluar dari dua jalan, yang harus diusap sebanyak tiga kali. Adapun selainnya maka tidak ada ketentuan jumlah tertentu dalam membasuhnya, karena hukum asal syarat sah suatu ibadah adalah tawaqquf (membutuhkan adanya dalil), dan jika tidak ada dalil secara khusus maka asalnya dalam menbersihkan najis adalah dengan disiram dengan air sampai benda najisnya itu hilang. Dan tidak terikat dengan jumlah tertentu dalam membasuhnya.[9]
- Sebagian Ulama mempersyaratkan ucapan tahmîd, wasiat bertaqwa, shalawat kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, dan membaca ayat al-Qur’ân untuk keabsahan khutbah Jum’at. Ini adalah penetapan syarat sah suatu ibadah, di mana hukum asal dalam hal ini adalah tawaqquf. Dan jika kita perhatikan dalil-dalil yang menjelaskan tentang masalah ini, ternyata dalil-dalil tersebut tidaklah menunjukkan makna wajib, hanya menunjukkan kepada perkara yang sunnah. Maka penetapan syarat sah tersebut merupakan suatu hal yang kurang tepat.[10]
- Sebagian fuqaha’ mensyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat bagi orang yang ingin mengerjakan sujud tilâwah dan sujud syukur. Karena mereka berpendapat bahwa sujud tilâwah dan sujud syukur sama dengan shalat. Maka kita katakan bahwa hal itu merupakan penetapan syarat terhadap suatu ibadah, sehingga membutuhkan dalil yang menunjukkan hal itu. Apabila kita perhatikan dalil-dalil yang disebutkan dalam masalah ini, ternyata tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menetapkan syarat tersebut. Bahkan disebutkan dalam hadits Ibnu Umar –radhiyallâhu 'anhu–, di mana ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَيَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّوْرَةَ فِيْهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ
Dahulu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah membacakan kepada kami satu surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, maka beliau sujud dan kami pun ikut sujud, sampai-sampai salah seorang di antara kami tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan keningnya.[11]
Dalam hadits tersebut Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan para Sahabat untuk berwudhu terlebih dahulu, sedangkan dalam kaidah dikatakan bahwa tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pensyaratan yang disebutkan sebagian fuqaha’ tersebut tidaklah tepat.
Demikian pula sujud syukur. Tidak ada dalil yang menjelaskan wajibnya berwudhu, menutup aurat, atau pun menghadap kiblat untuk melaksanakan sujud syukur. Maka penetapan syarat tersebut untuk sujud syukur adalah pensyaratan yang tidak didasari oleh dalil, sedangkan hukum asal syarat tersebut adalah tidak ada.
Demikian pula sujud syukur. Tidak ada dalil yang menjelaskan wajibnya berwudhu, menutup aurat, atau pun menghadap kiblat untuk melaksanakan sujud syukur. Maka penetapan syarat tersebut untuk sujud syukur adalah pensyaratan yang tidak didasari oleh dalil, sedangkan hukum asal syarat tersebut adalah tidak ada.
Oleh karena itulah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullâh– berpendapat bahwa tidak disyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat untuk keabsahan sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sujud tersebut bukanlah shalat. Namun, tidak diragukan bahwa seorang yang melakukan sujud tilawah dan sujud syukur dengan memenuhi syarat-syarat shalat adalah lebih utama dikarenakan dua alasan, yaitu dalam rangka keluar dari perselisihan ulama, dan karena hal itu lebih sempurna dalam melaksanakan ibadah.[12]
Wallâhu a’lam.

(Qawaid Fiqhiyyah: Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar