Taqabbalallahu minnaa wa minkum... "Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"

28 Jul 2013

Perbedaan Antara Kondisi Dakwah pada Permulaan Islam dan Di Zaman Sekarang

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh seorang da’i. Karena dari pemahaman tersebutlah dakwahnya kepada Allah akan berjalan, di mana sesungguhnya Allah yang menjamin keberhasilannya dan mencapai sasarannya, tanpa sikap ifrath (melampaui batas, ekstrim) dan tafriith (meremehkan).

Maka wajib atas setiap da’I memahami akan adanya perbedaan yang tegas antara zaman permulaan islam dan zaman sesudahnya. Terutama pada zaman ini. Karena semakin jauh suatu masa dari masa-masa nubuwwah, semakin tersebar penyimpangan dan kebid’ahan. Oleh sebab itu, da’I manapin pada zaman ini, yang ingin memperlakukan masyarakatnya seperti masyarakat pada awal-awal datangnya islam, adalah salah dan keliru dalam berpikir atau memilih jalan.

26 Jul 2013

Folling Dalil Tahlilan

Beberapa waktu yg lalu Tim Sarkub bekerja sama dengan LSI (lembaga Survei Indonesia) melakukan survei atau folling dibeberapa kota di Indonesia, adapun survei tersebut bertujuan untuk menyamakan persepsi terhadap dalil tentang perayaan kematian (Tahlilan, red) yg akhir2 ini gencar dikritisi oleh anak2 wahabi.

Selama ini Tim Sarkub menilai anak2 Aswaja tidak kompak dalam mengambil dalil terhadap perayaan kematian tersebut, oleh karenanya diharapkan dengan adanya hasil survei ini bisa menyatukan pendapat untuk mengcounter anak2 wahabi.

Adapun sampel dalih yg di bagi kepada masyarakat Aswaja berkutat pada 3 dalih yg dianggap sama2 mempunyai kekuatan, yakni:

1. Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yg berbunyi "Termashurlah selamatan yg diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus & seribu.

Al-Quran Turun Pada Malam Lailatul Qadr Bukan Malam ‘Nuzulul Quran’ 17 Ramadhan (Penting!!!)

Ketika memasuki malam yang ke 17 di bulan Ramadhan sebagian kaum muslimin dan masjid-masjid mulai diadakan peringatan turunnya al-Quran pertama kali yang disebut malam peringatan Nuzulul Quran. Hal ini juga ‘terkesan’ dikuatkan dengan catatan kaki dalam “Al-Quran dan Terjemahnya” surat Adh-Dhukhan ayat 3.
إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا 
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
[1369] malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.

24 Jul 2013

Serial Kedustaan Memalukan yang Dibikin Orang Syi’ah

Jika Anda mengatakan ‘Syi’ah Pendusta’, maka itu bukan satu hal yang berlebihan, karena Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah dulu pernah berkata :
ما رأيت في أهل الأهواء قوما أشهد بالزور من الرافضة
“Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang lebih banyak bersaksi dusta daripada (Syi’ah) Raafidlah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 8/1457 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 10/89, dari Ar-Rabii’. Dibawakan pula oleh Harmalah lafadh yang semisal dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 187, Al-Manaaqib lil-Baihaqiy 1/468, dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 10/208].
Bukan bualan, karena dusta bagi Syi’ah ibarat garam di dalam sayur : jika tak ditaburi, rasa akan hambar. Berikut akan saya sebutkan tiga kedustaan di antara banyak kedustaan yang telah mereka buat menipu kaum muslimin

23 Jul 2013

Salafy dan Masyarakat Awam

Sejatinya, Ahlus Sunnah adalah pencerah di tengah masyarakat yang jahil akan agamanya. Kalau kita menjauh dari mereka –karena merasa lebih alim barangkali dan mereka semua menyimpang- lalu siapa yang akan mengajari mereka? Oleh karena itu tetaplah berbaur dengan masyarakat dan perlahan mengenalkan kepada mereka akan agama yang mulia ini yang sesuai dengan cara beragama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan shahabatnya.

Begitu juga urusan di masyarakat yang lainnya, hiduplah kita seperti manusia yang lain. Paham maksud saya?

Hiduplah kita seperti manusia yang lain tentunya dengan batas-batas syar’i, batas-batas sunnah.
Misalkan dalam urusan kemasyarakatan ada -apa yang diistilahkan dengan- Posyandu. Ada ya Posyandu di balikpapan ada? ada yaa? Saya pikir cuma di Jawa saja itu. Ternyata kita masih di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika Mereka Yang Tidak Mengagungkan Sunnah Disegerakan Balasannya

Sesungguhnya keyakinan yang menyatakan bahwa Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah Islam dan bahwasanya Islam yang murni adalah Sunnahnya, merupakan keyakinan yang shahih, yang selamat dan lurus. Sebagaimana perkataannya Al-Imam Al-Barbahariy dan disepakati oleh 'ulama Ahlus Sunnah: "Ketahuilah, bahwasanya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam, dan tidak akan berdiri salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya." (Syarhus Sunnah hal.65). Setiap apa saja yang menyelisihi keyakinan tersebut, maka itu merupakan keyakinan yang rusak, yang salah, jahiliyyah dan kebinasaan. 

Dan kewajiban kita, kaum muslimin adalah mengagungkan Sunnah tersebut, menghidupkannya, mendakwahkannya dan membelanya dari orang-orang yang membenci dan memusuhinya.
Allah Ta'ala memperingatkan kita agar jangan sampai menyelisihi perintah Rasulullah, dengan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa 'adzab yang pedih." (An-Nuur:63)

22 Jul 2013

19 Tanda Ahlul Bid'ah, Waspadalah...

Kami akan sampaikan apa yang telah ditulis oleh Syaikh Dr. Ibroohim bin Muhammad bin ‘Abdillah Al Buraikan dalam kitab beliau: Ta’rif Al Khalaq Bi Manhaj As Salaf, dimana dalam kitab tersebut kita temukan sangat banyak identitas dan karakter para Ahlul Bid’ah, tidak kurang dari 19 macam.
Tanda-Tanda Ahlul Bid’ah tersebut adalah:

1. 
Ahlul Bid’ah sangat memusuhi, menghina dan menganggap enteng kepada mereka pembawa berita dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Hal itu bisa kita temukan dalam apa yang diriwayatkan oleh Imaam Ash Shoobuuny رحمه الله dalam kitab beliau: ‘Aqiidatussalaf Ashaabul Hadiits.
Kata beliau رحمه الله  , dengan sanadnya dari Ahmad bin Sinaan Al Qaththoon, “Tidak ada di dunia ini seorang pun Mubtadi’ (seorang Ahli Bid’ah), kecuali dia yang membenci Ahlul Hadiits (Pembawa Hadits). Maka jika seseorang melakukan kebid’ahan, akan dicabut rasa lezatnya Hadits dari dirinya. Ciri Ahlul Bid’ah adalah mereka mencela, menghina, dan memusuhi Ahlul Atsar (Ahlul Hadits, Ahlus Sunnah).”

Wudhu Saat Puasa

Tata Cara Wudhu untuk Orang yang Puasa

Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum, Ustadz mau nanya nih, bagaimana wudlunya orang yang berpuasa ?
tetap berkumur apa nggak ? Tks…
Dari: Zazam
Jawabab
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Tata cara wudhu orang yang puasa sama dengan tata cara wudhu pada umumnya. Artinya tetap melakukan kumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung. Hanya saja, tidak boleh terlalu keras, karena dikhawatirkan bisa masuk ke lambung.

19 Jul 2013

Kegagalan Konsep Teologi Syi’ah Masuk dalam ‘Aqidah Ahlus-Sunnah

Sudah sangat dimaklumi bahwa orang-orang Syi’ah sangat antusias berkamuflase menjadi Ahlus-Sunnah dan menyusupkan pemahamannya dengan menggunakan beberapa referensi Ahlus-Sunnah. Orang awam sangat rentan dibuat bingung menghadapi syubhat musang berbulu domba ini. Padahal, referensi Ahlus-Sunnah sudah menggagalkan syubhat teologi mereka sejak awal. Diantara kegagalan konsep mereka tersebut antara lain :
1.     Imaamah.
Ini salah satu dogma terbesar Syi’ah, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat dan/atau mewariskan kekhilafahan/imaamah kepada ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu

14 Jul 2013

Musafir Yang Tidak Mengalami Kesusahan Bersafar Bolehkah Tidak Puasa?

Salah satu keringanan bagi musafir adalah boleh berbuka ketika bulan Ramadhan. Sebagaimana kita tahu bahwa safar di zaman dahulu memberatkan, tidak ada tempat makan dan minum serta tidak ada tempat penginapan. Keadaan yang memberatkan inilah yang membuat musafir mendapatkan keringanan.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
Safar merupakan sebagian dari siksaan, karena menghalangi seseorang di antara kalian untuk bisa menikmati makan, minum, dan tidur. Jika di antara kalian telah menyelesaikan keperluannya, maka hendaklah dia segera kembali ke keluarganya” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).

Bid’ah Bukan Dalam Urusan Dunia

Dikit-dikit dibilang bid’ah, dikit-dikit bid’ah? mau baca surat Yasin tiap malam Jumat dibilang bid’ah, mau dzikir 7777 kali tiap malam Rabu Pahing dibilang bid’ah, ini bid’ah, itu bid’ah. Kalo begitu pergi haji pake unta aja kayak zaman Nabi, pesawat kan ga ada di zaman Nabi, itu bid’ah pakai pesawat…”
Komentar di atas adalah komentar orang yang belum mengerti hakikat bid’ah. Padahal memahami bid’ah sama pentingnya dengan memahami sunnah, sebagaimana pentingnya memahami syirik lawan dari tauhid.

Pengertian bid’ah secara ringkas


Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui apa itu bid’ah. Sebenarnya untuk lebih memahami bid’ah maka butuh pemahasan yang agak panjang dengan berbagai jenis dan macam serta kaidah-kaidahnya. Akan tetapi kami bawakan pejelasan ringkasnya agar lebih memahami judul dari tulisan ini.

Kepada Apa Kita Berdakwah?

Salah satu bentuk penyimpangan manhaj dakwah yang muncul di tengah umat pada masa kini adalah seruan dan gerakan untuk memprioritaskan penegakan khilafah atau daulah islamiyah di atas dakwah kepada pemurnian akidah dan pelurusan tauhid.

Hal ini, tentu saja keliru, sebab tujuan pokok dakwah para nabi dan rasul adalah untuk menegakkan tauhid di tengah umat manusia, bukan kekuasaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

12 Jul 2013

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang Buta Huruf

Itulah yang menjadi ‘aqiidah umat Islam dari dulu hingga sekarang, dengan dasar Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Belakangan, banyak orang yang menggugatnya. Mereka katakan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang cerdas yang telah mengenal baca tulis. Berikut di antara yang mereka katakan :
Kata “ummi”, menurut Alquran adalah orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya: “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab, dan orang-orang “ummi” (yang tidak diberi kitab), sudahkah kamu tunduk patuh?” (Qs Ali Imran: 20).

10 Jul 2013

Syi'ah dan Shalat Tarawih

Salah seorang Syi’ah Raafidlah berkata :
“Bagi Syiah shalat tarawih berjamaah di malam-malam bulan Ramadhan adalah bid’ah. Dalam sejarah yang telah dibuktikan oleh Syiah, Umar bin Khattab lah yang telah menciptakan bid’ah shalat tarawih berjama’ah tersebut. Karena Rasulullah saw sama sekali tidak pernah mengajarkan kita untuk shalat sunah secara berjama’ah”.
[selesai kutipan].
Perkataan yang semisal sudah sangat masyhur di kalangan orang-orang Syii’ah Raafidlah, baik dalam negeri maupun luar negeri[1]. Namun bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah), perkataan di atas tidaklah ada artinya dan sudah seharusnya diabaikan, karena telah sah beberapa riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masyru’-nya shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramdlaan.

8 Jul 2013

Puasa di Hari Syakk

Hari syakk[1] menurut sebagian ulama adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.


Para ulama berbeda pendapat tentang puasa di hari syakk bersamaan dengan adanya kesepakatan kebolehan berpuasa di hari itu jika memang bertepatan dengan kebiasaannya melakukan puasa (sunnah), seperti hari Senin, Kamis, atau kebiasaan puasa Daawud. Beberapa pendapat tersebut antara lain[2] :
Hanafiyyah berpendapat berpuasa di hari itu makruh apabila diniatkan untuk berpuasa Ramadlaan atau puasa wajib lainnya. Namun jika diniatkan puasa sunnah/tathawwu’, maka tidak makruh.

Ru’yatul-Hilaal

Yaitu, melihat hilaal (bulan sabit) untuk menetapkan bulan baru. Permasalahan ini menjadi sangat populer terutama ketika menentukan awal dan akhir puasa Ramadlaan, atau menentukan awal bulan Dzulhijjah (terkait ibadah puasa ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa). Metode ru’yatul-hilaal adalah metode Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diantara dalil yang melandasi, yaitu :
Allah ta’ala berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlaan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” [QS. Al-Baqarah : 185].

6 Jul 2013

Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab

Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:

  1. Melihat hilal ramadhan.
  2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Melihat Hilal Ramadhan

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama  salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”.[8]

Pengumuman Puasa dan Hari Raya Bukan Urusan Ormas atau Individu

Di negeri kita berbeda dengan di negara lainnya yang rakyat begitu bersabar mendengar keputusan pemerintah atau mufti mereka dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya. Di negeri kita memang terkenal bebas. Semua ormas dan orang awam sekalipun bisa angkat bicara dan mengumumkan kapankah kita mesti berpuasa dan berhari raya. Padahal yang jadi sunnah Rasul dan dipraktekkan para sahabat, ketika salah seorang di antara mereka melihat hilal awal Ramadhan, ia pun melaporkannya pada penguasa, lalu biarlah penguasa yang memutuskan kapan mesti berhari raya atau berpuasa.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah membawakan dalam Bulughul Marom hadits no. 654,
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

2 Jul 2013

Hukum Asal Syarat Sah Suatu Ibadah Tidaklah Ada Kecuali Jika Ada Dalilnya

MUQADDIMAH
Sesungguhnya kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allâh Ta'âla dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah. Allâh Ta'âla telah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menunjukkan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Berkaitan dengan rincian ibadah, Allâh Ta'âla tidak memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk menentukan dan menetapkannya. Karena akal tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahui mana ibadah yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Yang berhak menetapkan syarat-syarat sah suatu ibadah adalah Allâh Ta'âla semata, baik melalui al-Qur’ân maupun melalui lisan nabi-Nya. Maka seseorang tidak berhak mengaitkan keabsahan suatu ibadah dengan sesuatu hal kecuali jika ada dalil yang menjadi landasannya. Karena penentuan syarat suatu ibadah merupakan wewenang Allâh Ta'âla yang telah mensyariatkan ibadah itu. Barangsiapa menentukan syarat sah suatu ibadah berdasarkan akal semata maka hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allâh Ta'âla.
Copyright 2010@All Rights Reserved By Abu Rumaisha
a
h
s
i
a
m
u
R
u
b
A