Tingginya Kedudukan Ulama
Predikat orang alim, berilmu, dan
menguasai urusan agama (syariat) merupakan anugerah agung dari Allah Subhanahu
wa Ta'ala, Dzat Yang Maha ‘Alim. Titian jalan yang ditempuhnya senantiasa
mendapat iringan barakah Ilahi. Kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala
pun berada pada tingkatan yang tinggi lagi mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ
“ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”
(Al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah berkata :
“Oleh karena itu kita dapati orang-orang yang berilmu
selalu menyandang pujian. Setiap (nama mereka) disebut, pujian pun tercurah
untuk mereka. Ini merupakan wujud diangkatnya derajat (mereka) di dunia. Adapun
di akhirat, akan menempati derajat yang tinggi lagi mulia sesuai dengan apa yang
mereka dakwahkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan realisasi dari ilmu yang
mereka miliki.” (Kitabul Ilmi, hal.14)
Merekalah sejatinya referensi
utama dalam menyibak perkara-perkara yang musykil. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ
تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika
kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43).
Oleh karena itu, keberadaan
mereka di tengah umat sangatlah berarti, sedangkan ketiadaan mereka merupakan
suatu bencana.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
berkata:
“Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para
setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka.
Karena para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan
kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.”
(Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal. 7)
Teladan As-Salafush Shalih
Dalam Memuliakan Ulama
Bila kita buka catatan sejarah, niscaya akan kita
lihat kehidupan as-salafush shalih yang diwarnai oleh akhlakul karimah.
Memuliakan dan menjunjung tinggi ulama merupakan bagian dari prinsip kehidupan
mereka. Perhatikanlah secercah cahaya dari kehidupan mereka ini:
-
Shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, suatu hari menuntun hewan
tunggangan yang dinaiki shahabat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, seraya
beliau berkata: “Seperti inilah kita diperintah dalam memperlakukan
ulama.”
- Ketika Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah menunaikan ibadah haji
dan masuk ke kota Makkah, maka Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menuntun
tali kekang ontanya seraya mengatakan: “Berilah jalan untuk Syaikh!”. Sedangkan
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menggiring onta tersebut (dari belakang)
hingga mereka persilahkan Al-Auza’i duduk di sekitar Ka’bah. Kemudian mereka
berdua duduk di hadapan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah untuk menimba ilmu
darinya.
- Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Dahulu aku membuka
lembaran-lembaran kitab di hadapan Al-Imam Malik dengan perlahan-lahan agar
tidak terdengar oleh beliau, karena rasa hormatku pada beliau yang sangat
tinggi.” (Dinukil dari Kitab Ad-Diin Wal ‘Ilm, hal. 27)
Demikianlah
seharusnya yang terpatri dalam hati sanubari setiap insan muslim, tidak seperti
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap ulama dan nabi mereka. Dan tidak
pula seperti ahlul bid’ah yang selalu melecehkan ulama umat ini.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Maka wajib bagi seluruh kaum
muslimin -setelah mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya- untuk
mencintai orang-orang yang beriman sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al
Qur’an, terkhusus para ulama sang pewaris para Nabi, yang diposisikan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala bagaikan bintang-bintang di angkasa yang jadi petunjuk arah
di tengah gelapnya daratan maupun lautan. Kaum muslimin pun sepakat bahwa para
ulama merupakan orang-orang yang berilmu dan dapat membimbing ke jalan yang
lurus.” (Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, hal. 3)
Lebih dari itu,
melecehkan ulama merupakan ghibah dan namimah yang paling berat (termasuk dosa
besar). Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Menggunjing ulama, melecehkan, dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis
ghibah dan namimah yang paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya
dan terkikisnya kepercayaan umat kepada mereka. Jika ini terjadi, akan muncul
kejelekan yang besar.” (MaYajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal.
17)
Kebejatan Akhlak Orang-Orang Yahudi Terhadap Ulama dan Para
Nabi
Tatanan kehidupan mulia ini yakni memuliakan ulama, sangatlah jauh dari
kehidupan orang-orang Yahudi. Titah Ilahi yang terkandung di dalam Al-Qur’an
telah cukup menggambarkan bagaimana bejatnya akhlak mereka terhadap ulama.
Bahkan terhadap para Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada mereka.
Pelecehan, penghinaan, bahkan pembunuhan kerap mereka lakukan terhadap
orang-orang mulia itu.
قَالُوا يَا مُوْسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا
أَبَدًا مَّا دَامُوا فِيهَا، فاَذْهَبْ أَنْتَ وَ رَبُّكَ فَقَاتِلآ إِنَّا
هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka berkata: ‘Wahai Musa, kami sekali-kali tidak
akan memasukinya (menaklukkan Palestina), selagi mereka (orang-orang yang gagah
perkasa itu) ada di dalamnya. Maka dari itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan
berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”
(Al-Maidah: 24)
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَ قَفَّيْنَا مِنْ
بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ، وَءَاتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ
وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ، أَفَكُلَّمَا جَآءَكُمْ رَسُولٌ بِّمَا لاَ
تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَّذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا
تَقْتُلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat)
kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul.
Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam
dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali
datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai
dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di
antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!”
(Al-Baqarah: 87)
قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَآءَ اللهِ مِنْ قَبْلُ
إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Katakanlah: ‘Mengapa kalian dahulu membunuh
nabi-nabi Allah jika kalian benar-benar orang yang beriman?’.” (Al-Baqarah:
91)
Demikianlah sekelumit kebejatan, kebobrokan, dan kebrutalan
orang-orang Yahudi. Perilaku mereka merupakan potret suatu kaum yang
dikendalikan oleh hawa nafsu, durhaka lagi melampaui batas. Tak segan-segan di
dalam meluluskan kehendak hawa nafsunya itu, mereka membinasakan orang-orang
yang membimbing mereka ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta'ala timpakan kepada mereka nista, kehinaan, kemurkaan, dan
kutukan.
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَآءُو
بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ، ذَالِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللهِ
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَالِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista
dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi)
karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang
memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat
durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah: 61)
وَقَالُوا قُلُوبُنَا
غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلاً مَّا
يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya
Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. Maka sedikit sekali dari
mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)
Ahlul Bid’ah Pewaris Akhlaq
Orang-orang Yahudi
Adapun ahlul bid’ah dari umat ini, sesungguhnya mereka
pewaris dan pemegang tongkat estafet akhlaq bejat orang-orang Yahudi. Sikap
melecehkan ulama sunnah merupakan ciri utama ahlul bid’ah di setiap generasi dan
kurun waktu.
Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah
berkata:
“Tidak ada seorang pun dari ahlul bid’ah di dunia ini kecuali benci
terhadap ahlul hadits (Ahlus Sunnah wal Jamaah)”. (Syaraf Ash-habil Hadits,
karya Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah, hal. 73)
Al-Imam Isma’il bin
Abdurrahman Ash-Shabuni rahimahullah berkata:
“Tanda dan ciri mereka yang
utama adalah permusuhan, penghinaan dan pelecehan yang luar biasa terhadap
pembawa hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (ulama)”. (Aqidatus Salaf
Ash-habil Hadits, hal.116)
Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah
berkata:
“Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah melecehkan ahlul atsar (Ahlus Sunnah
wal Jamaah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, karya Al-Lalikai
rahimahullah, 1/200).
Pelecehan mereka itu menerpa ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah baik secara umum ataupun secara khusus (individu tertentu). Adapun secara
umum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah:
“Ciri utama Zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan
kekafiran) adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Hasyawiyyah, dalam
rangka menggugurkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ciri
utama Jahmiyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Musyabbihah.
Ciri utama Qadariyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mujbirah.
Ciri utama Murjiah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mukhalifah
dan Nuqshaniyyah. Ciri utama Syi’ah Rafidhah adalah menjuluki Ahlus Sunnah
dengan Naashibah.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah
1/201)
Adapun pelecehan secara khusus (terhadap individu tertentu) maka
ahlul bid’ah dan para pengikutnya tak segan-segan melakukannya. Kaum Syi’ah
Rafidhah melecehkan, bahkan mengkafirkan sebagian besar para shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula Khawarij, memberontak terhadap
khalifah ‘Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu kemudian membunuhnya dengan sadis.
Tak luput pula pengkafiran mereka terhadap semua yang terlibat dalam peristiwa
tahkim (di kalangan shahabat dan tabi’in). Kelompok Jahmiyah Mu’tazilah pun
demikian garangnya terhadap ulama sunnah, khususnya di masa Al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah. Kelompok Sufi tak ketinggalan di dalam melecehkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Imam Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahumullah. Tulisan Muhammad Zahid Al-Kautsari sangat penuh dengan
tikaman terhadap ulama As-Sunnah seperti: Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i,
Al-Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi,
Ibnu Abi Hatim, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Humaidi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu
Dawud, Adz-Dzahabi dan yang lainnya. (Lihat At-Tankil, karya Asy-Syaikh
Al-Mu’allimi rahimahullah)
Tulisan-tulisan Sayyid Quthb juga banyak
dengan tikaman terhadap Nabi Musa, shahabat ‘Utsman bin Affan, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. (Lihat Adhwa Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthb
Wa Fikrihi dan Matha’in Sayyid Quthb Fi Ash-habi Rasulillah, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali). Demikian pula goresan-goresan pena Abu Rayyah sarat
akan pelecehan terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
(Lihat Al-Anwarul Kasyifah, karya Asy-Syaikh Al-Mu’allimi
rahimahullahu)
Muhammad Al-Ghazali juga sangat tajam tikamannya terhadap
ulama sunnah (lihat Al-Irhab, karya Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali,
hal. 132-133). Adapun Abdurrahman Abdul Khaliq, maka ia termasuk kreator
penikaman terhadap ulama sunnah abad ini (sebagaimana dalam kitabnya Khuthuth
Ra’isiyyah Liba’tsil Ummatil Islamiyyah)1. Tak kalah pula pelecehan terhadap
ulama sunnah (abad ini) yang dilakukan oleh Salman bin Fahd Al-‘Audah dalam
kasetnya Waqafaat Ma’a Imami Daril Hijrah dan tanya jawabnya dengan majalah
Al-Ishlah Emirat2, ‘Aidh Al-Qarni dalam Qashidah “Da’il Hawasyi Wakhruj” yang
terdapat dalam kitabnya Lahnul Khulud hal. 46-473, Nashir Al-‘Umar dalam
kitabnya Fiqhul Waqi’4 dan Safar Hawali dalam kasetnya Fafirruu Ilallah5.
Lebih-lebih lagi yang dilakukan oleh Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin
dalam majalah “As-Sunnah”-nya (yang lebih pantas disebut Al-Bid’ah)6 dan juga
Muhammad bin Abdillah Al-Mas’ari7. Betapa kasar dan arogannya pelecehan mereka
itu.
Apakah Pelecehan itu Benar sesuai Kenyataan?
Al-Imam Isma’il bin
Abdurrahman Ash-Shabuni rahimahullah berkata:
“Aku melihat, julukan-julukan
yang ditujukan kepada Ahlus Sunnah itu justru tertuju kepada ahlul bid’ah
sendiri. Dan tidak satupun dari julukan-julukan tersebut yang mengena -karena
keutamaan dan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala -.
Di dalam
menyikapi ahlus sunnah, mereka meniru metode musyrikin (Makkah) -semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala melaknati mereka- ketika menyikapi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yaitu dengan memberikan julukan-julukan (palsu) kepada
beliau. Sebagian dari mereka menjulukinya “tukang sihir”, sebagian lagi
menjulukinya “dukun”, “penyair”, “orang gila”, “orang yang terfitnah”,
“pembual”, dan “pendusta”. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersih
dari semua julukan tersebut, dan tidak lain beliau adalah seorang rasul, manusia
pilihan dan nabi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
انْظُرْ كَيْفَ
ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ
سَبِيْلاً
“Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat
perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak
sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (Al-Furqan:
9)
Demikian pula ahlul bid’ah -semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala hinakan
mereka- yang memberikan julukan-julukan (palsu) kepada para ulama pembawa hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang selalu mengikuti jejak beliau dan
berpegang teguh dengan sunnahnya (yang dikenal dengan Ashhabul hadits). Sebagian
ahlul bid’ah menjuluki mereka dengan Hasyawiyyah, sebagian lagi menjuluki dengan
Musyabbihah, Nabitah, Nashibah, dan Jabriyyah. Namun tentu saja ashhabul hadits
sangatlah jauh dan bersih dari julukan-julukan negatif itu. Dan mereka tidak
lain adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, jalan yang diridhai lagi lurus, serta
hujjah-hujjah yang kuat lagi kokoh.” (Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hal
119-120)
Di Balik Pelecehan Ulama
Mungkin kita akan tertegun, mengapa
pelecehan terhadap orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala muliakan ini
terjadi?
Ketahuilah bahwa di balik pelecehan ulama ada misi yang
terselubung sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafizhahullah: “Yang demikian itu dalam rangka untuk memisahkan umat dari
ulamanya. Sehingga (bila berhasil) akan mudah bagi mereka (Ahlul Bid’ah) untuk
menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran dan kesesatan yang dapat menyesatkan
umat dan memecah belah kekuatan mereka. Itulah misi yang mereka inginkan, maka
hendaknya kita waspada.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal.
17)
Penutup
Dari bahasan di atas, dapat kita petik beberapa pelajaran
berharga, yakni:
1. Melecehkan ulama merupakan kebiasaan orang-orang
Yahudi dan ahlul bid’ah.
2. Melecehkan ulama bermudharat bagi diri sendiri,
karena ia termasuk ghibah dan namimah (yang keduanya merupakan dosa
besar).
3. Melecehkan ulama bermudharat bagi umat, karena ia dapat memisahkan
umat dari ulamanya, dan terkikisnya nilai kepercayaan umat kepada
mereka.
Atas dasar inilah, maka melecehkan ulama merupakan perbuatan
tercela dan diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu memuliakan
para ulama dan semoga pula lisan kita selalu basah dengan untaian
kata:
رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُوناَ
بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِناَ غِلاًّ لِّلَّذِينَ أَمَنُوا رَبَّناَ
إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ .
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah
Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman bercokol pada hati
kami, Yaa Allah sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:
10)
Amin Yaa Rabbal ‘Alamin…
1 Di antara pelecehannya terhadap
ulama tauhid secara umum adalah: “Dan saat ini sangat disayangkan kita tidak
mempunyai ulama kecuali orang-orang yang memahami Islam dengan pemahaman
tradisional…”
Dan juga perkataannya: “Kita tidak inginkan barisan dari ulama
mummi (jasadnya ada, namun pola pikirnya kuno, pen).”
Adapun pelecehannya
terhadap ulama besar Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah adalah: “Dia
ibarat perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang perlu direvisi.” Dan juga
perkataannya: “Orang ini tidak mampu menjawab syubhat yang dilancarkan oleh
musuh-musuh Allah, bahkan tidak ada kesiapan untuk mendengarkan syubhat
tersebut.” (Dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Dr. Rabi’
bin Hadi Al-Madkhali, hal. 119-120).
2 Salman Al-‘Audah berkata: “Di dunia
Islam saat ini sangat banyak lembaga-lembaga yang jauh dari agama, dan terkadang
lembaga tersebut bertanggungjawab tentang fatwa atau urusan agama namun yang
dilakukan sebatas pengumuman masuk dan keluarnya bulan Ramadhan.” Dia juga
berkata: “Berbagai insiden yang terjadi di teluk (Arab) semakin membongkar
berbagai macam penyakit tersembunyi yang diidap oleh kaum muslimin ….. -hingga
perkataannya- dan membongkar pula tentang tidak adanya referensi ilmiah (ulama)
yang benar dan dapat dipercaya oleh kaum muslimin.” (Dinukil dari Al-Quthbiyyah
Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 98).
3 Aidh Al-Qarni bersyair tentang para ulama
Ahlussunnah yang tinggal di kota Riyadh, Saudi Arabia:
Shalat dan puasalah
sekehendakmu,
Agama tidak mengenal “Aabid” hanya dengan sekedar shalat dan
puasa.
Engkau hanyalah ahli ibadah dari kalangan pendeta,
Bukan dari umat
Muhammad, cukuplah ini sebagai celaan.
hingga perkataannya:
Karya tulismu
hanya untuk membicarakan orang-orang yang telah mati.
Tidak lain engkau orang
yang sekarat dan banyak omong.
Karya tulismu hanya untuk membicarakan
orang-orang yang telah mati,
Tidak lain engkau orang yang sekarat dan banyak
omong,
Tiap hari kau syarah matan dengan madzhab taqlid, sungguh kau telah
menambah noda-noda hitam Engkau pun nampak sibuk dengan masalah-masalah
sampingan ketika engkau takut dengan seorang yang jahat lagi ganas.
Jangan
berkata sepatah kata pun wahai Syaikh! Dan tunggulah usia fatwa orang sejenismu
hanya 50 tahun saja.
(Dinukil dari kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah
Fa’rifuha, hal. 99)
4 Kitabnya yang satu ini, benar-benar dijadikan sebagai
senjata ampuh oleh hizbiyyun harakiyyun untuk menjatuhkan ulama sunnah dan
mengangkat tinggi-tinggi gembong-gembong harakah.
5 Safar Hawali berkata:
“Ulama kita wahai ikhwan!!! Semoga Allah menjaga mereka… Semoga Allah menjaga
mereka!!! (sebagai ungkapan kekecewaan, pen), kita tidak bisa membenarkan segala
sesuatu dari mereka, mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan)!!… Kita
nyatakan: “Ya! Mereka kurang di dalam memahami waqi’ (fenomena kekinian), mereka
punya sekian banyak kekurangan yang harus kita lengkapi!! Bukan kita lebih utama
dari mereka, tetapi kita hidup dan bergelut dengan berbagai macam persoalan
kekinian, sedangkan mereka menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan hukum
yang tidak sesuai dengan zaman yang mereka hidup padanya!” -hingga perkataannya-
“Dan sebagian dari ulama tersebut mulai menerima kritikan ini, karena mereka
sudah jompo! atau telah memasuki fase ……!?” (Dinukil dari Madarikun Nazhar Fis
Siyasah, hal. 351 footnote no.1)
6 Muhammad Surur berkata tentang para ulama
besar Ahlussunnah yang ada di Saudi Arabia: “Dan jenis lain adalah orang-orang
yang berbuat tanpa ada rasa takut, yang selalu menyesuaikan sikap-sikapnya
dengan sikap para tuannya… Ketika para tuan ini meminta bantuan (pasukan) dari
Amerika (untuk menghadapi Saddam Husain sosialis, pen), dengan sigap para budak
tersebut mempersiapkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan itu, dan ketika
para tuan berseteru dengan Iran (yang berpaham sesat Syi’ah Rafidhah, pen) maka
para budak itu pun selalu menyebut-nyebut kejahatan dan kesesatan Syi’ah
Rafidhah …” (Majalah As-Sunnah, edisi 23, hal. 29-30).
Dia juga berkata
tentang para ulama tersebut: “Perbudakan di masa lalu cukup sederhana, karena si
budak hanya mempunyai tuan (secara langsung). Adapun hari ini, perbudakan cukup
rumit, dan rasa heranku tak pernah sirna terhadap orang-orang yang berbicara
tentang tauhid namun mereka budak budak budak budaknya budak, dan tuan terakhir
mereka adalah seorang nashrani (yakni George Bush, pen).” (Majalah As-Sunnah,
edisi. 26). (Lihat kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 89).
7
Muhammad Al-Mas’ari berkata tentang Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:
“Adapun pendapatku secara pribadi sesungguhnya Asy-Syaikh Ibn Baz telah sampai
pada tingkat pikun, dungu serta lemah yang sangat.” Adapun pelecehannya terhadap
shahabat Mu’awiyah: “Sesungguhnya aku menganggap Mu’awiyah sebagai seorang
perampas kekuasaan.”
Sedangkan pelecehannya terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab : “Bahwasanya dia adalah seorang yang polos (biasa-biasa saja) dan
bukan seorang yang ‘alim.” (Lihat kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha,hal. 115)
Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar