Mengangkat tema
tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka
tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas
tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam
mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah
adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya
sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan
shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki
ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah
sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
WALI MENURUT AL
QUR’AN DAN AS SUNNAH
Adalah perkara
yang lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang
menjadi suatu yang asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita
jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi
mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya
persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat
wali Allah dan lawannya, wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali
itu ada dua jenis yaitu:
-wali
Allah
-wali
setan
Allah berfirman
(artinya): “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran
pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman
dan bertakwa.” (Yunus:62-63)
Dia berfirman
tentang wali setan (artinya): “Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang
menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut
kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali
Imran:175)
Dari kedua ayat
ini jelaslah bahwa wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa
kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari
mereka.
Al Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan
bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka, sehingga setiap
orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/422). Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang
Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.”
(Fathul Bari 11/ 342).
Didalam ayat yang
lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara
dari kesalahan). Dia berfirman (artinya): “Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan
bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka
perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan kemudian membalas mereka dengan
ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar:
33-35)
KARAMAH MENURUT
AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
Demikian juga
halnya, Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada
sebagian manusia yang bertakwa, baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan
datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam
didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan
kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman (H.R. Al Bukhari no. 7132
dan Muslim no. 2938). Selain itu, kenyataan yang kita lihat ataupun dengar dari
berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita
ini.
Adapun definisi
karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan
kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi,
tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus,
yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya
(karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan
agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298
karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
APAKAH WALI ALLAH
ITU MEMILIKI ATRIBUT-ATRIBUT TERTENTU?
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki
sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara
dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan
merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad,
pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa
11/194)
APAKAH WALI ALLAH
ITU HARUS MEMILIKI KARAMAH? LEBIH UTAMA MANAKAH ANTARA WALI YANG MEMILIKINYA
DENGAN YANG TIDAK?
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki
karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama
daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan
para tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para sahabat, padahal para
sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’
Fatawa 11/283)
APAKAH SETIAP
YANG DILUAR KEBIASAAN DINAMAKAN DENGAN ‘KARAMAH’?
Asy Syaikh Abdul
Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang
diluar kebiasaan itu ada tiga macam:
-Mu’jizat yang
terjadi pada para rasul dan nabi
-Karamah yang
terjadi pada para wali Allah
-Tipuan setan
yang terjadi pada wali-wali setan
(Disarikan dari
At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Sedangkan untuk
mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita
mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang
mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
“Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka
janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui
bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal.
193)
WALI DAN KARAMAH
MENURUT KAUM SUFI
Pandangan kaum
Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah. Diantara pandangan mereka adalah sebagai
berikut:
1. Wali Adalah
Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot Sufi) dalam kitabnya
Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99 (lihat Firaq Mu’ashirah 2/ 699)
2. Gelar wali
merupakan pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bisa diraih tanpa
melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih oleh seorang yang baik atau pelaku
kemaksiatan sekalipun. (Lihat Firaq Mu’ashirah 2/701)
3. Wali Memiliki
Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi
Wassallam.
Diantara
kekhususan tersebut adalah:
a. Mengetahui apa
yang ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad
Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.
b. Mampu menolak
malaikat maut yang hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal
ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al
Jailani.
c. Mampu berjalan
di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri
Muhammad As Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d. Dapat
menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat
jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka
tersebut.
e. Memiliki
kesanggupan untuk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri
tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
(Dinukil dari
buku-buku kaum Sufi melalui kitab Khashaa’ishul Mushthafa hal.
280-293).
Dan masih ada
lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka.
Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!! Sebelumnya Ibnu Arabi
menyatakan kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah
syairnya dia mengatakan:
Kedudukan puncak
kenabian berada pada suatu tingkatan
Sedikit dibawah
wali dan diatas rasul
(Lathaa’iful
Asraar hal.49)
Demikian juga Abu
Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi
hanya mampu di tepi-tepinya saja.” (Firaq Mu’ashirah 2/698)
4. Seorang Wali
Tidak Terikat Dengan Syariat Islam
Asy Sya’rani
menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian
dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr
(minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti
menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk
dan menjelma seperti yang terlihat tersebut. (Ath Thabaqaatul Kubra
2/41)
5. Seorang Wali
Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi
berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun
imam dhahir (syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.” (Al
Futuuhaat Al Makkiyah 3/183)
6. Seorang Wali
Harus Ditaati Secara Mutlak
Al Ghazali
berkata: “Apapun yang telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar
mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya.
Karena, kesalahan syaikhnya itu lebih baik daripada kebenaran yang ada pada
dirinya.” (Ihya’ Ulumuddin 1/50)
7. Perbuatan
Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai Karamah
Dalam
menceritakan karamah Ali Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila
sedang mengunjungi kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna
susila/pelacur.” (Ath Thabaqaatul Kubra 2/135)
8. Karamah
Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shuman
Al Qusyairi
berkata: “Salah satu fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu
mendapat taufiq untuk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan
syari’at.” (Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150)
Para pembaca,
dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali
menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi
tersebut siapa saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah
atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan
fitrah yang suci.
Wallahu a’lam
bishshawaab.
HADITS-HADITS
LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DIKALANGAN UMAT
Hadits Ubadah bin
Shamit :
الأَبْدَالُ في
هَذِهِ الأُمَّةِ ثَلاَثُوْنَ …
“Wali Al Abdaal
di umat ini ada 30 orang…”
Keterangan:
Asy Syaikh Al
Albani rahimahullah banyak membawakan hadits tentang wali Al Abdaal didalam
Silsilah Adh Dha’ifah hadits no. 936, 1392, 1474, 1475, 1476, 1477, 1478, 1479,
2993, 4341, 4779 dan 5248.
Beliau mengatakan
bahwa seluruh hadits tentang wali Al Abdaal adalah lemah, tidak ada satupun yang
shahih. (Lihat pembahasan ini lebih detailnya didalam Majmu’ Fatawa
11/433-444)
Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
Tidak ada komentar:
Posting Komentar