Tak banyak yang
tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu
gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara
keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi
menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah merupa-kan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas
kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau
upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah n
bersabda:
وَإِنَّمَا
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku
takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud,
4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no.
1586)
Abdurrahman bin
Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya
memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap
mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata
tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam
(kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)
Ibnu Mas’ud z
berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka
menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke
belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
Mengingat hal
ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang
selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang
sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa
kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara
global.
1. Dalam
pembahasan sifat-sifat Allah k, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan
ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah k.
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah k tidak boleh disamakan dengan
sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh
menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah
diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur
Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash
shifat adalah mengesakan Allah k pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya
sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah n, dan
mengesakan Allah kpada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah
Rasulullah n sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah),
atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya.
(Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh,
Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan
istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan
Aqidah)
Hal ini telah
menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush
shalih.
Allah k
berfirman:
سَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ اْلأَعْلَى
“Sucikan Rabbmu
yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)
إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya
Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
الرَّحْمنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman
ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)
Rasulullah n
bersabda:
لَمَّا قَضَى
اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ
الْعَرْشِ
“Ketika Allah
menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-
Nya, di atas ‘Arsy...” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam
Al-Qurthubi v berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa
Allah k benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui
adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui
hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal.
187)
2. Al-Ghazali
berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan
yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli
ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya`
‘Ulumiddin, 1/22)
Aqidah yang
bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an
dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu
yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat
kemurnian aqidah.
Allah k
berfirman:
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ
وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka
yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.”
(Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh
As-Sa’di v: “Contoh yang baik adalah Rasulullah n. Orang yang mengambil suri
teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada
kemuliaan Allah k. Inilah jalan yang lurus.”
Al-Imam
Al-Barbahari v: “Ketahuilah –semoga Allah k merahmatimu–, sungguh tidaklah
muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam
agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan
perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)
Ibnu Rajab v
berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang
nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran
dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang
yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan
para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun
(ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal
Khalaf, hal. 43)
Abdurrahman
Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al- Imam
Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak
akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu
sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal.
9)
Sungguh malang
nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada
Allah k dari hal itu).
3. Al-Ghazali
membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir:
ilmu muamalah.
b. Ilmu batin:
ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa
ilmu kasyaf merupa-kan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para
Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para
wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa
melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam
hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
114)
Sungguh
menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah k telah berfirman:
قُلْ لاَ
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ
اللهُ
“Katakanlah:
'Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang
ghaib selain Allah.'” (An-Naml: 65)
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ
رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
رَصَدًا
“(Dialah) Yang
Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali
kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan
(dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin:
26-27)
Ibnu Katsir v
berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh
tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k
beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah n
bersabda:
خَمْسٌ لاَ
يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau
membaca ayat:
إِنَّ اللهَ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad,
5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’,
6/361]
Ibnu Hajar v
berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah k. Dan segala perkara
ghaib yang Nabi n kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah k kepadanya.
Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari,
9/203)
Adanya keyakinan
kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah k.
4. Penafsiran
ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf. Sebagai contoh Al-
Ghazali menafsirkan firman Allah k:
وَاجْنُبْنِي
وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkan aku
serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim:
35)
Al-Ghazali
menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak!
(Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini
merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan
menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.
Allah k
berfirman:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah, jika
kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Ali ‘Imran: 31)
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ
الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah
sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin
menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui
oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa,
13/231)
Keadaan ini
menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara
ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji
bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa,
13/236)
5. Al-Ghazali
terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya`
‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata:
“Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa
sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana
dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama
untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)
Bahkan hubungan
manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata:
“Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah
masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman
Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap
tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal
olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari
Nasrani. (Ash- Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
64)
Anggapan seperti
ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari
al-wala` wal-bara`. Allah k berfirman:
وَلاَ تَكُوْنُوا
كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah
kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka
lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(Al-Hasyr: 19)
ثُمَّ
جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah n
bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ...
“Benar-benar
kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-
Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah
n dengan jelas menyatakan:
لاَ
رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada
kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah,
4/7)
Sungguh perilaku
Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar
dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is
every-thing).
6. Menurut
Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham
Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para
Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah k, yang
tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur,
sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang
mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu
kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal
Yahudiyyah, hal. 114-115)
Bahkan Al-Ghazali
berkata: “Sesung-guhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang
haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan
tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh
terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau
menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu
cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji,
menulis, dan buku- buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin,
3/18-19)
Beliau juga
berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui
pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/
Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
Abdurrahman
Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian
merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki
tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan
batin.” (Abu Hamid Al- Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal.
35)
Abdurrahman
Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-
Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan
dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu
didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid
Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
Ibnu Taimiyyah v
berkata: “Sesung-guhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa
berita-berita dari Rasulullah n tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah.
Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1,
nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan
menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia
dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
1/18)
Ibnul Jauzi v
berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena
para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan
mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis
hal. 374)
Abdurrahman
Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk
membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah k
berfirman:
وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi
orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati
mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang
yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas c yang didoakan oleh
Nabi n: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali
‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
Perilaku
Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam
memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah n sebagai seorang
nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah k
berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah
Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat- Ku
dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah:
3)
لَقَدْ مَنَّ
اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah
telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di
antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka
Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7. Tentang ajaran
wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin:
“Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah jk dalam keesaan-Nya. Dengan-
Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat
selain dari- Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia.
Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu
bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan
yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di
alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)
Bahkan terdapat
keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah
wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin,
4/247)
Ibnu Taimiyyah v
berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah
karena perkataan mereka bahwa Allah k berada di semua tempat. Di antara bentuk
pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah k berada di perut, di
tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara
tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat
kotor, tempat-tempat sunyi, barang- barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai
bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)
Ahlus Sunnah
meyakini bahwa Allah k ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah k tidak membutuhkan
‘Arsy. Dan Allah k tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala
sifat-Nya.
Allah k
berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman
ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
إِنَّ رَبَّكُمُ
اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya
Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-
istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah Allah
serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura:
11)
8. Ajaran khalwat
atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al- Ghazali
berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar
(kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan
perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba
beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
2/228)
Bahkan dengan
khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya`
‘Ulumiddin, 3/78)
Syarat-syarat
khalwat menurut kaum Shufi:
Meminta bantuan
dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
Menyibukkan
diri dengan dzikir sehingga nampak Allah k baginya.
Bertempat di
ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan
manusia.
Tidak
berbicara.
Tidak
memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari
dzikir yang sebenarnya.
Tidak boleh
masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari
syaikhnya.
Selalu mengikat
hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah
wal Yahudiyyah, hal. 186)
Ini merupakan
amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah
memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah
bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah
agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang
apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa
Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah
harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap
emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi
Ma’rifatil Fitan)
9. Al-Ghazali
lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian)
daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau
berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah
k, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak
bisa dibangkitkan dengan membaca Al- Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
2/301)
Keganjilan kaum
Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu
Taimiyyah v berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani
baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya.
Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa,
11/57)
Al-Imam
Asy-Syafi’i v berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul
at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya
menghalangi manusia dari Al- Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah
melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa,
11/569)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah v berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan
as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia
tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika
mendengarkan bait- bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan
mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa,
11/568)
Orang-orang Shufi
telah melupakan firman Allah k:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati
mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
أَلاَ بِذِكْرِ
اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa
dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10. Kesalahan
yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang
harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal:
‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal
keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan,
engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau
menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang
bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)
Hal ini sangatlah
berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah k
berfirman:
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian
mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah:
197)
Asy-Syaikh
As-Sa’di v berkata: “Allah n memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang
mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan
mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta
bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.”
Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di
dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.”
(Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali
berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang
dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang
dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
4/276)
Al-’Iraqi berkata
setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk
keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah
Rasulullah n telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal,
sebagaimana yang diterangkan Al- Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam
masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal.
79)
Bahkan ketika
orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber- khalwat
daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal.
89)
11. Menjauhi
suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah n, seperti
nikah.
Al-Ghazali
berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.”
(Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat
menyelisihi sabda Rasulullah n:
تَزَوَّجُوا
فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا
كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah
kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan
janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan
hadits ini diriwayatkan Al- Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra,
7/78)
Peringatan Ulama
Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3
Asy-Syaikh Abdul
Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau
(yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak
pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta
membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid
telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil
menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.
Ibnul ‘Arabi,
murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman
ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak
berhasil.”4
Abu ‘Ali
Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan
memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan
mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam
Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan
membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka
kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami
di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk
membakar dan menjauhi karyanya.”
Adz-Dzahabi
berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak
menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih
Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari
sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang
dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit.
Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin
untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para
wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia
mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr
Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai
kedustaan atas nama Rasulullah n. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih
banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah
Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah
sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan
khayalan.”
Semoga Allah k
selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar
setan.
Wallahu
a’lam.
1 Musyahadah
menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah k yang kemudian
memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia
telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan
Allah.
3 Diambil dari
kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul
Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
4 Tentang akhir
kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah v mengatakan: “...Oleh karena itu, menjadi
jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah
menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui
hadits-hadits Nabi n. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya
yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa
perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang- orang.”
(‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
(http://asysyariah.com/print.php?id_online=325)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar