Jika kaum
muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam
merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah
Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri
di dalam kehidupan masyarakat mereka.
Bagaimana tidak,
perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja
mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang
benar-benar diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu’alaihi
Wassallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah
Rafidhah.
DEFINISI NIKAH
MUT’AH
Nikah mut’ah
adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah
tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi
perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian
dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan
beberapa tambahan)
HUKUM NIKAH
MUT’AH
Pada awal
tegaknya agama Islam, nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al- Akwa’ Radhiyallahu
‘anhu
“Bahwa Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk
melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani
rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan
pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah
tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman
nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya
An-Nawawi)
Dan beliau
Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu
pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah
Subhanahu Wa Ta’ala telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR.
Muslim)
Adapun nikah
mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr
Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhum, maka hal itu disebabkan mereka
belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh
Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An- Nawawi)
GAMBARAN NIKAH
MUT’AH DI JAMAN RASULULLAH Shalallahu’alaihi Wassallam
Di dalam beberapa
riwayat yang sah dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, jelas sekali gambaran
nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat Radhiyallahu
‘anhum.
Gambaran tersebut
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Dilakukan pada
saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika
seseorang menetap pada suatu tempat (HR. Muslim hadits no.
1404)
2. Tidak ada
istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tesebut (HR. Bukhari no. 5116
dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu
nikah mut’ah hanya 3 hari saja (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no.
1405)
4. Keadaan para
pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya
seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan
hidupnya (HR. Muslim no. 1406)
NIKAH MUT’AH
MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH
Dua kesalahan
besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang
nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
Penghalalan Nikah
Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk
penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan
mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq
berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku.
Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan
barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini
selain agama kami.”
Di dalam halaman
yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah
nikah mut’ah itu memiliki pahala ?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan
wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut
kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka
Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah
mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada
rambutnya”.
Bahkan As-Sayyid
Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan
kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi
Shalallahu’alaihi Wassallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah
mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua
kali maka derajatnya seperti Al- Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka
derajatnya seperti Ali Radhiyallahu ‘anhu dan barangsiapa melakukannya sebanyak
empat kali maka derajatnya seperti aku.”
Betapa Keji dan
Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad
nikah
Di dalam Al Furu’
Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah
ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi,
pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan:
Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun
engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun
kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan
demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun
banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan
halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil
Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)
2. Tanpa disertai
wali si wanita
Sebagaimana
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih
perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam
7/254)
3. Tanpa disertai
saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)
4. Dengan siapa
saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria
boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
-wanita Majusi.
(Tahdzibul Ahkam 7/254)
-wanita Nashara
dan Yahudi. (Kitabu Syara’i’il Islam hal. 184)
-wanita pelacur.
(Tahdzibul Ahkam 7/253)
-wanita pezina.
(Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
-wanita
sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
-wanita yang
telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
-istrinya sendiri
atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
-wanita
Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
-sesama pria yang
dikenal dengan homoseks. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal.
54)
5. Batas usia
wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan
bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun
masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255
dan Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)
6. Jumlah wanita
yang dimut’ah
Kaum Rafidhah
mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang
pria menikahi walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah
wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)
7. Nilai
upah
Adapun nilai upah
ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya,
Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung,
tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi
5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)
8. Berapa kali
seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Diijinkan bagi
seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berapa kali dia
kehendaki. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)
9. Bolehkah
seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang
lain?
Kaum Syi’ah
Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua
model:
Bila seorang
suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada
tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau
budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi
bepergian.
A. Alasannya agar
istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di
perjalanan!!!
B. Bila seseorang
kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya
kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua
dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi … Tsumma
Lit-Tarikh hal. 47)
10. Nikah mut’ah
hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin
(sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi … Tsumma
Lit- Tarikh hal. 37-38)
11. Diperbolehkan
seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau
bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di
antara wanita tadi. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)
12. Sebagaimana
mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara
bergiliran. Bahkan, dimasa Al-‘Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang
dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo).
(Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)
ALI BIN ABI
THALIB Radhiyallahu ‘anhu MENENTANG NIKAH MUT’AH
Para pembaca,
bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah
berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh
karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu-yang diklaim oleh kaum Syi’ah Rafidhah sebagai
imam mereka- bahwa beliau menentang nikah mut’ah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu
mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang nikah
mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali
Radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah
dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no.
5119.
Wallahu A’lam
Bish Showab.
Sumber: Buletin
Islam AL ILMU, Jember Edisi :33 /IV/II / 1425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar