Al Imam Abu Dawud meriwayatkan dari sahabat yang mulia Al
‘Irbadh bin Sariyah radliallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan
hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami
mengatakan: “Duhai Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau
mengucapkan selamat tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun
bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah, untuk
mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan
barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang
dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian
dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru ( bid‘ah) itu sesat.” (HR.
Abu Dawud no. 3991)
Penjelasan Hadits
Al Hafidz Abu Nu‘aim
berkata: “Hadits ini jayyid (bagus), termasuk hadits yang shahih dari
periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim
meninggalkan hadits ini (yakni tidak memuat dalam kitab shahih mereka) bukan
karena mengingkarinya.”
Al Hakim menyatakan, Al Bukhari dan Muslim
meninggalkan penyebutan hadits ini disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya
bahwa tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan
kecuali Ats Tsaur bin Yazid, padahal sebenarnya ada perawi lain yang
meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin Sa‘ad, Muhammad bin Ibrahim At Taimi
dan selain keduanya.
Namun pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz
Ibnu Rajab: “Sebenarnya hal ini tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al
Bukhari dan Muslim tidak mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi
syarat mereka berdua di dalam kitab shahihnya, di mana Al Bukhari dan Muslim
sama sekali tidak mengeluarkan dalam shahihnya riwayat dari Abdurrrahman bin Amr
As Sulami dan dari Hujr Al Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini
tidaklah terkenal (masyhur) dalam keilmuan dan periwayatan
hadits.”
Adapun Abdurrahman As Sulami, salah seorang perawi dalam hadits
ini, maka ia masturul hal (keadaannya tidak diketahui), walaupun telah
meriwayatkan darinya jama‘ah (sekelompok orang) namun tidak ada seorang alim
yang mu‘tabar (teranggap dan diakui keilmuannya) yang men-tsiqah-kannya
(menganggapnya terpercaya). Ibnul Qaththan Al Fasi mendha’ifkan (melemahkan)
hadits ini karena hal tersebut.
Demikian pula dengan Hujr bin Hujr Al
Kala‘i, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak
ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah- kannya, sehingga ia dinyatakan
majhulul ‘ain (rawi yang tidak dikenal). Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini
tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al Hakim di atas, hadits ini
diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebutkan jalan-jalannya yang
saling menguatkan satu dengan lainnya oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya
Jami’ul ‘Ulum, maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh
Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i rahimahullah, walaupun ada sebagian ulama
yang menshahihkannya, sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan
sebagai hujjah (dalil atau argumen), kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang
mendha’ifkan hadits ini.
(As Sunnah Ibnu Abi Ashim, no. 27, Ash Shahihul
Musnad, 2/71, Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2/110, Mizanul I’tidal, 2/207, Tahdzibut
Tahdzib, 2/188, 6/215).
Kandungan Hadits
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah
kepada mereka ucapan yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa
mereka.” (An Nisa’: 63)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat
selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari
kalangan umatnya, sehingga ketika para sahabatnya meminta agar beliau memberikan
nasihat maka beliau pun memenuhinya diiringi dengan hikmah.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih
kata-kata yang tepat, lafadz yang indah, mengena di hati dan menancap dengan
dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi
bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan
dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabatnya sebagai orang yang
memiliki jawami`ul kalim (perkataan yang ringkas namun padat). Sebagaimana sabda
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.”
(HR. Al Bukhari no. 2977 dan Muslim no. 523)
‘Ammar bin Yasir radliallahu
‘anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata
yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada
seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat:
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya
merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah
khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang
tersihir.” (HR. Muslim no. 869)
Nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati para
sahabatnya hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang
karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang
beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati
mereka.” (Al Anfal: 2)
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan
kepada Rasul, engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang
mereka ketahui dari kebenaran.” (Al Maidah: 83)
Demikianlah nasihat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang seolah-olah beliau akan pergi
meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah
diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang
penting kecuali disampaikan dan dipesankannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/366, ‘Aunul
Ma`bud, 12/234).
Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan
Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada, mereka
meminta wasiat beliau, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini
nasihat orang yang akan berpisah, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau
pun memberikan wasiat, di antaranya:
Wasiat untuk Takwa kepada
Allah
Berkata ahlul ilmi, takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala
perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan
terkumpul dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan,
sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada
orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar
bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)
Kita diperintah oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana
firman-Nya:
“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa.” (Al Baqarah: 197)
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini
kebaikan dunia dan akhirat.
Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang
dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di
sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan
baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri,
di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan
kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah
dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An
Nisa’: 59)
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika
yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun
yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethopia) yang rambutnya seperti
kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzarr
no. 648)
Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian
ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi
penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar
permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun
besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya
sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak
mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya
didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila
diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan
kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang
disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak
kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang
lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas
kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana
apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.”
(Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)
Tentunya ketaatan kepada
pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no.
4340 dan Muslim no. 1840)
Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan
Sunnah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian
yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang
banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan
sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang
erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah
satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang perkara yang akan
datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan
umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan
berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi,
no.2129)
Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang
perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan
para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga
diibaratkan seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan
oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini
karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa,
22/225).
Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk
bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang
harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.”
(Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi).
Adapun sunnah yang dimaksudkan
dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang
lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75).
Selain mengikuti Sunnah
beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi sunnahnya Al Khulafa’ Ar
Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
radliyallahu ‘anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan
(Ar Rasyidin) karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan
dengannya. Mereka adalah (Al Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk
mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.
(Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul ‘Ulum, 1/127)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau
karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah
Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari
Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi
yang lainnya. (Al I’tisham, 1/118)
Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur
Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al
Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan
jalannya Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam
berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara.
Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar
tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi
dalam perkara yang besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari
faidah hadits ini adalah ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah
lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah
ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik
daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)
Wasiat
untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat
beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama
sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini.
Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena setiap
bid`ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian
bid‘ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan
bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar radliallahu ‘anhu ketika melihat
kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap:
“Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”
Shalat tarawih berjamaah ini
bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asalnya
dalam syariat, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya
bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun
Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan
diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak
mampu melaksanakannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Penulis : Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar