Gejolak unjuk
rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak
pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh
oknum-oknum tertentu.”
Adapula yang
berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada
yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini
adalah ungkapan hati nurani rakyat.”
Demikian komentar
para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua universitas di
Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap para mahasiswa itu
ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain justru mendukung
mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.
Namun dalam
tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang
salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi ini bisa digunakan
sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau apakah tindakan
ini bisa dikatakan sebagai jihad[1]?
DEMONSTRASI
PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM
Kasus terbunuhnya
Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat
hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu
'anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang
disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum
Muslimin.
Abdullah bin
Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah
maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman
:
“Niscaya engkau
akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman
adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al Maidah :
82)
Permusuhan kaum
Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka
terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin,
mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam
kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman
191 dan 199)
Pada zaman Abu
Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang.
Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai realisasi perintah
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang pernah bersabda
:
“Sungguh akan aku
keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak
sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan beliau : “Keluarkanlah
orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR. Bukhari)
Di tahun-tahun
terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu 'anhu di saat kondisi masyarakat mulai
heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya,
mulailah orang- orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan
fitnah.
Mereka
berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang
dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini menebarkan benih-benih
fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman
radliyallahu 'anhu.
Sedangkan inti
dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan
Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang kewalian Ali radliyallahu
'anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada seribu Nabi dan setiap Nabi
mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali
adalah penutup para wali.”
Tatkala tertanam
pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan
pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan
radliyallahu 'anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang
bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan
wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia
melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!”
Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian
(pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil
kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada
(di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk
mencerca pejabat kalian tampakkan amar ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia
serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz
4 halaman 340 karya Ath Thabary melalui Mawaqif)
Amar ma’ruf nahi
mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf menurut Khawarij
yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat
pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang
semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah.
Masalah pun bukan
semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal
ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu, peperangan sesama kaum
Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman
kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash
Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2
halaman 342)
Sebenarnya amar
ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan
tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada
Utsman :
“Hai Utsman,
nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin
mencelakakanmu pada waktu malam --dalam riwayat lain :-- Orang-orang munafik
ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga
kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam
Sunan-nya dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi
3/210 nomor 2923)
Syaikh Muhammad
Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij
tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang
dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar
perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Tidak diketahui
di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi
agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash
Shahabati juz 1 halaman 476)
Inilah hakikat
amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya
kejadian dulu dan sekarang?!
Di jaman ini
ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran
Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat
dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman
Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman
31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam
berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”
Sebelum kita
membongkar kebathilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar
ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita pelajari manhaj Salafus
Shalih dalam perkara ini.
MANHAJ SALAFUS
SHALIH BERAMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMERINTAH
Allah adalah Dzat
Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang
pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang
durhaka seorang pemimpin yang dhalim.
Maka jika terjadi
pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman
tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh
seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat)
yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi
rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan
syariat.
Bukan dengan
ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan
membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar
lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.
Adapun dasar
memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang
hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di
khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan
empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka
sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala
baginya (orang yang menasihati).”
Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim
dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini
banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan
apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan
Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi
Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).
Dan Syaikh Al
Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522.
Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati
jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan
pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin
Barjas.
Bertolak dari
hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan
kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi
orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah
--lantaran pemimpin itu telah berbuat salah-- seharusnya ia tidak menampakkan
kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.
Tetapi
sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan
berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa
yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya
tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak
kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran
yang nyata dari mereka. Hadits- hadits dalam masalah ini
mutawatir.
Akan tetapi wajib
bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan
tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (As
Sailul Jarar 4/556)
Imam Tirmidzi
membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku
di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir
tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata :
“Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”
Lantas Abu Bakrah
berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang
ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At
Tirmidzi nomor 2224)
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang
pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada
perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan
prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di
perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan
sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu
jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat
yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga
Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)
Diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap
Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat
semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah,
sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin
menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan
13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih- nya 4/2290)
Syaikh Al Albani
mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid)
maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak
ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa
berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara
terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian
beliau[4].”
Demikian metode
atau manhaj Salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintah atau orang
yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang
mengatakan bahwa demonstrasi termasuk cara untuk berdakwah sebagaimana yang
dianggap oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.
Manhaj Khawarij
ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang Khawarij. Sebagaimana
dalam riwayat Said bin Jahm beliau berkata : “Aku datang ke Abdullah bin Abu
Aufa, beliau matanya buta, maka aku ucapkan salam.”
Beliau bertanya
kepadaku : “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku. Beliau bertanya : “Kenapa
ayahmu?” Aku katakan : “Al Azariqah[5] telah membunuhnya.” Beliau berkata :
“Semoga Allah melaknat Al Azariqah, semoga Allah melaknat Al Azariqah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing
neraka.” Aku bertanya : “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al
Azariqah saja atau Khawarij semuanya?” Beliau menjawab : “Ya, Khawarij
semuanya.” Aku katakan : “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat
kedhaliman kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya
dengan sangat kuat, kemudian berkata : “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib
atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan
sawadul a’dham. Jika engkau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu maka
datangilah dan khabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau
tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad
dalam Musnad-nya 4/383)
Dan masih banyak
lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka karena perbuatan
mereka sebagaimana telah dijelaskan.
Oleh karena itu,
bagi seorang Muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak mungkin dia akan rela
dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (sebagai anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi
kita apabila hendak menasehati pemerintah, hendaklah dengan metode Salaf yang
jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik
antara rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa
kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.
DEMONSTRASI ATAU
UNJUK RASA MERUPAKAN BENTUK TASYABUH (MENYERUPAI) ORANG-ORANG
KAFIR
Sangat
disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah aktivis-aktivis Islam.
Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri Islam mereka? Atas dasar apa
melakukan hal hal itu? Apakah berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat
(kekaburan pemahaman)? Mereka - -mahasiswa/rakyat yang beragama Islam--- tidak
sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, junjungan mereka, yaitu larangan menyerupai
orang-orang kafir. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut.”
Malah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabuh terhadap orang kafir. Telah
diterangkan oleh Syaikh Al Albani hafidhahullah tatkala seorang penanya
menyampaikan pertanyaan kepada beliau yang lengkapnya demikian
:
Penanya : “Apa
hukumnya demonstrasi/unjuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun
perempuan keluar ke jalan-jalan?”
Syaikh : “Para
perempuan juga?”
Penanya : “Benar.
Sungguh ini telah terjadi!”
Syaikh : “Masya
Allah.”
Penanya : “Mereka
keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian permasalahan yang dituntut
atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap taghut-taghut, atau apa yang
mereka tuntut dari organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan
mereka. Apa hukumnya perbuatan ini?”
Syaikh : [ Aku
katakan --wabillahi taufiq--, jawaban dari soal ini termasuk pada kaidah dalam
sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud
di dalam Sunan-nya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radliyallahu 'anhu atau
hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu --saya ragu apakah beliau Abdullah bin ‘Amr
atau Ibnu Umar-- ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
: “Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya
Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu baginya. Dan Allah menjadikan rizqiku
di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang
menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk
kaum mereka.” Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam ini adalah perkataan : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk kaum mereka.”
Maka tasyabuh
(penyerupaan) seorang Muslim kepada seorang kafir tidak dibolehkan dalam Islam.
Tasyabuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang
tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah
diterangkan secara rinci oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung,
Iqtidla’ Shirathal Mustaqim Mukhalafata Ashabil Jahim secara rinci dan tidak
akan didapat selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara
yang lain, yang sepantasnya bagi Thalabul Ilmi memperhatikannya agar tidak
menyangka bahwa hanya tasyabuh saja yang dilarang syariat.
Ada perkara lain
--yang lebih tersamar-- yaitu perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir.
Tasyabuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun
menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud menyelisihi mereka pada
apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti
sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan alami yang tidak berbeda antara Muslim
dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha dan
kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah tabarak wa ta’ala
kepada manusia dan engkau tidak akan mendapati sunnatullah itu berubah.
Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya
orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut-rambut mereka maka
selisihilah mereka (2X).” Sungguh dalam hal ini seorang Mukmin mungkin
menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau
tidak akan menemukan seorang Muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit
sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara Muslim dan kafir yang
sama-sama keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan
tadi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk
menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban rambut-rambut kita. Sama
saja rambut jenggot atau kepala. Untuk apa? Agar dengan ini tampak perbedaan
antara Muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir
mengerjakan suatu amalan lalu seorang Muslim ikut melakukannya dan terpengaruh
dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada
menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki bahasan
dalam menerangkan pertanyaan yang ditujukan padaku.
Jika telah
diketahui perbedaan antara tasyabuh dengan penyelisihan maka seorang Muslim yang
benar keislamannya hendaknya terus menerus berusaha menjauhi bertasyabuh dengan
orang kafir.
Sebaliknya harus
berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami menyunnahkan
(membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan karena mereka yang pertama
kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.
Kami mengambil
istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits ini : “Bahwa Yahudi dan
Nashara tidak menyemir rambut mereka maka selisihilah mereka.” Sebagaimana yang
diucapkan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut (Iqtidla). Ucapan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang
mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang
dikehendaki oleh As Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu,
kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan hukum-hukum bukan termasuk
wajib. Seperti makan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau : “Shalatlah
kalian di atas sandal-sandal kalian.” “Selisihilah Yahudi (2X).” Di sini
diketahui bahwasanya shalat memakai sandal bukan fardlu. Beda dengan
memanjangkan jenggot, karena orang yang mencukurnya akan mendapat
dosa.
Adapun shalat
dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab). Namun apabila
seorang Muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika shalat justru telah
menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.
Ada suatu hal
yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadlu Ibnu
Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al Asy’ari mengimami shalat waktu
itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih utama dari Abu Musa radliyallahu 'anhu.
Pada waktu itu Abu Musa Al Asy’ari melepas sandalnya dan segera ditegur dengan
keras oleh Ibnu Mas’ud : “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau
menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’ud ini
menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Shalatlah di atas
sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”
Apabila dua
hakikat ini telah dipahami yaitu (larangan) tasyabuh dan (perintah) menyelisihi
kaum musyrikin maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan
dan segala bentuk kekufuran.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar akan
mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau
masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan memasukinya.”
Berita dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini mengandung peringatan bagi umat ini. Namun di
samping itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengatakan dalam
hadits mutawatir : “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan
Al Haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang
hari kiamat.”
Jadi Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu telah memberikan khabar gembira dalam hadits
shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita
ini, yaitu : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan sebelum kalian.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memaksudkan dalam hadits ini setiap
individu dalam umatnya akan mengikuti jalan orang-orang
kafir.
Maka ucapan itu
bermakna peringatan artinya : “Hati-hati kalian, jangan mengikuti sunnah orang-
orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada dari kalian orang-orang yang
melakukannya.”
Dalam riwayat
lain selain riwayat As Shahihain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat yang sangat parah. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda (dalam riwayat itu) : “Bahkan ada dari
mereka (Yahudi) orang yang mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan
dan niscaya akan ada pula dari kalian yang akan
melakukanya.”
Kecenderungan
pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam tersebut walaupun masih perlu adanya penelitian yang lebih
mendalam.
Dan pada sebagian
hadits-hadits yang telah tsabit, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda : “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada di antara manusia
bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di jalan-jalan.” Ini adalah puncak
kejelekan tasyabuh terhadap orang- orang kafir.
Apabila kalian
telah mengetahui larangan bertasyabuh dan perintah untuk menyelisihi (orang-
orang kafir) maka kembali kepada permasalahan demonstrasi (unjuk rasa), kita
saksikan dengan mata kepala sendiri saat Perancis menguasai Suriah dan apa yang
terjadi di Aljazair. Di sana terdapat kesesatan dan tasyabuh dengan turut
sertanya para wanita dalam demonstrasi.
Demikian itu
merupakan kesempurnaan tasyabuh terhadap orang kafir baik laki-laki atau
perempuan. Karena kita melihat melalui foto-foto, berita lewat radio, dan
televisi atau selainnya tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan
orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya.
Menurut ungkapan
orang-orang Syam, keluarga laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”.
Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau
pinggul dengan pinggul, dan lain-lain. Saya katakan dari segi yang lain (yang
berhubungan dengan demonstrasi) : Bahwasanya demonstrasi ini menunjukkan sikap
taklid terhadap orang- orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang
ditetapkan oleh hakim-hakim mereka.
Demonstrasi ala
Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum Muslimin bukan
termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan keadaan masyarakat. Dari
sini setiap jamaah hizbiyah kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan
besar karena tidak menelusuri jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam
merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan
masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi
(unjuk rasa).
Islam mengajarkan
ketenangan dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum Muslimin serta mendidik
mereka di atas syariat Islam sampai berhasil walaupun harus dengan waktu yang
sangat panjang.
Dengan ini saya
katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di sebagian
negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari jalan kaum Mukminin[6] dan
tasyabuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang
artinya) : “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam
neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ :
115)
Penanya : “Mereka
--para demonstran-- berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi) bahwasanya
setelah Umar radliyallahu 'anhu masuk Islam, kaum Muslimin (serentak)
keluar.
Umar pada suatu
barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi)
mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari taghut-taghut dan orang kafir
Quraisy. Bagaimanakah jawaban Anda dengan dalil semacam
ini?”
Jawab : Jawaban
terhadap pendalilan semcam itu adalah : Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi
pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal sirah termasuk sunnah
yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka mengatakan kalau tsabit dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam suatu ibadah yang disyariatkan akan
diberi pahala orang yang melakukannya.
Dan dalam
pelaksanaannya pun tidak boleh terus-menerus tanpa putus karena dikhawatirkan
menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.
Kebanyakan
manusia --menurut adat mereka-- kalau ada salah satu Muslim meninggalkan sunnah
seperti ini niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli
fiqih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu
tertentu seperti disebutkan di dalam sirah di atas kemudian dijadikan sunnah
yang diikuti bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh
orang-orang kafir secara terus-menerus sedangkan kaum Muslimin tidak secara
mutlak melakukannya kecuali pada saat itu saja[7].
Kita mengetahui
kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar dari Islam dan
kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan melampaui batas, maka
bagaimana sikap kaum Muslimin dalam hal ini? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam telah memerintahkan dalam hadits yang shahih wajibnya taat kepada
pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun
kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang
digariskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Inilah yang aku
khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah) suara kebenaran”,
bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin suatu “kebangkitan (shahwah)”
dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara
itu dianggap baik atau buruk.
Tidak diragukan
lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, shahwah ini lahir dari pemuda
Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan tetapi engkau akan melihat
mereka berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam
menuntut ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.
Kita tidak
memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap
dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqih Islam sebagaimana yang
kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya
dan saya teringat bahwa kejadian ini tercatat dalam sirah. Akan tetapi saya
belum bisa mendapati shahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih
sanadnya maka dan ada salah seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada
kitab-kitab hadits standar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya bisa memeriksa
barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih. Maka
kalaupun shahih, hanya dilakukan sekali saja. Jika terjadi hanya sekali saja,
tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih
sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum Muslimin
menyelisihinya.
Kejadian ini
dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiyah
telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya ada suatu masalah
yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepantasnya ditinggalkan, yaitu
sunnah membaca surat Sajadah pada pagi hari Jum’at (saat shalat Shubuh). Ini
terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah
menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan
apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan menganggkat
hukumnya keluar dari hukum asalnya.
Kami mempunyai
bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman terhadap sunnah ini.
Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar Damaskus, yaitu masjid Bani
Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surat
Sajadah.
Baru saja imam
salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata :
“Kenapa engkau tidak membaca surat Sajadah?” Kemudian dia menerangkan bahwa hal
itu adalah sunnah dan kadang-kadang dianjurkan untuk
meninggalkannya.
Kejadian ini
terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus-menerus dan
berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan amalan
tersebut.
Lebih aneh lagi
yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari
Damaskus kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku hampir di pagi hari Jum’at untuk
shalat berjamaah bersama kaum Muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak
datang.
Maka mereka
mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali
saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya baru tumbuh. Dalam keadaan
bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya sebenarnya belum hafal surat Sajadah
dengan baik maka aku membaca surat Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala
aku takbir untuk ruku maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini
menunjukkan karena apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena
kebiasaan dan bukan dengan ilmu, ed.).
Seyogyanya para
imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebagian
hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah syariat, wajib untuk diambil
dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat derajat hukum sunnah menjadi
wajib dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah.
Semua ini adalah
ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban saya terhadap
pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang
mengambil dalil dengannya. ] (Kaset Fatawa Jeddah nomor 89880, pagi Shubuh, hari
Ahad, 27 Jumadil Akhir 1410 H)
BANTAHAN TERHADAP
SYUBHAT ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ
Di awal sudah
saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap pemerintah
Muslimin. Yaitu bolehnya memakai demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil
riwayat Umar radliyallahu 'anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat
tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah membantah syubhat Abdurrahman Abdul
Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata
Syaikh bin Bazz : “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minas Siyasah As
Syar’iyyah halaman 31-32 bahwasanya termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui
nash yang sharih dalam masalah ini. Maka aku mengharap faidah dari siapa kamu
mengambil dan dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya
maka kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku tidak
tahu sama sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu.
Dengan
menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak kerusakan.
Jika nash (dalil) itu shahih maka kamu harus menerangkan dengan jelas dan
sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan tidak berdalih dengannya
dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang bathil.” (Tanbihat wa Ta’biqat halaman
41)
Jawaban
Abdurrahman Abdul Khaliq : “Adapun ucapanku pada kitab Al Fushul Minas Siyasah
As Syar’iyyah fi Da’wah Ilallah halaman 31-33 maka aku katakan : Aku telah
menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (metode)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam menampakkan dakwah Islam,
sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu
'anhu, kaum Muslimin keluar karena perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan
kekuatan.
Dalam satu
barisan terdapat Hamzah radliyallahu 'anhu, sedang barisan yang lain ada Umar
bin Al Khattab radliyallahu 'anhu beserta kaum Muslimin.” (Kemudian Abdurrahman
Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim di dalam Al Hilyah 1/40 dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu
'anhu, Ibnu Abi Syaibah dalam As Shahabah 2/512, dan di dalam Tarikh-nya serta
Al Bazar).
Kemudian dia
(Abdurrahman Abdul Khaliq) berkata : “Tetapi setelah kedatangan surat Anda
(Syaikh bin Bazz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq
bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Demikian pernyataan
Abdurrahman Abdul Khaliq.
Tapi anehnya
setelah itu dia mengatakan : “Aku berpandangan metode ini (demonstrasi) bisa
untuk dijadikan metode yang benar dalam mendorong/menganjurkan manusia dalam
shalat Jum’at dan jamaah … dalam rangka menampakkan banyaknya orang
Islam.
Demikian juga
memamerkan tentara-tentara Islam bersamaan dengan peralatan perang karena hal
ini dapat menaklukan hati-hati musuh dan menakuti musuh-musuh Allah serta
meninggikan syariat Islam.”
Demikian cara
Ahlul Bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan dan setelah
ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar bahkan palsu maka mereka tidak
mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang benar.
Bahkan dia
berkelit : “Maksud saya demikian, maksud saya demikian”, “boleh saja hadits
lemah -- dalam hal ini palsu-- dijadikan i’tibar”, dan berbagai silat lidah
lainnya pun meluncur tajam.
Maka saya
katakan, setelah atsarnya diketahui mungkar karena adanya rawi yang mungkarul
hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa dijadikan hujjah dan
tidak bisa dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi mungkar. Karena metode dakwah
adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai dengan metode Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.
Jikalau kisah
Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah diterangkan
oleh Syaikh Al Albani. Dengan telah diketahui atsarnya dlaif bahkan mungkar,
maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya demonstrasi, sekalipun
niatnya baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh bin Bazz di atas.
Wallahu A’lam.
KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN PADA ACARA UNJUK
RASA
Di atas sudah
diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu :
- Bentuk tasyabuh
dengan orang-orang kafir.
- Termasuk khuruj
(menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain. (Lihat Nasehati)
- Menceritakan
aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang ini pun dilarang oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Nasehati)
- Ikhtilath
(bercampurnya laki-laki dan perempuan) bahkan berdesak-desakan. (Lihat SALAFY
rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)
- Tindak anarkis
yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan
orasi-orasi.
- Dan
lain-lain.
SOLUSI DARI
KRISIS
Pada situasi
sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu aspek, misalnya
ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan
krisis ini tidak bisa sembuh total manakala dibasmi dengan
kebathilan.
Suatu negara yang
dipimpin oleh pemimpin yang dhalim yang di dalamnya ditaburi praktek- praktek
kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka
kalau rakyatnya baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan
kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh
junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur
Rasyidin. Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi tetapi
dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian
menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang
berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan
diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi,
korupsi, dan virus- virus lainnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.
[1] Seperti
pendapatnya Abdurrahman Abdul Khaliq dan konco-konconya.
[2] Orang yang
bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Saba’iyah.
[3] Mirdas bin
Udayah adalah seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi
7/399.
[4] Mukhtashar
Shahih Muslim, ta’liq Syaikh Al Albani nomor 335.
[5] Salah satu
aliran dari aliran-aliran Khawarij.
[6] Shahabat,
ed.
[7] Ini bukti
bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya tidak mengambil
kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari
pemerintah.
(sumber : Tulisan
Ustadz Zuhair Syarif, SALAFY XXVII/1419/1998/MABHATS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar