Yang menarik,
pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb
(rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan
nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi
beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, hal. 14)
Jamaah Tabligh
tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang
menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang
sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat
populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
Bahkan saking
populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan
mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah
Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang
berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung
dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.
Pro dan kontra
tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke
India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.
Pendiri Jamaah
Tabligh
Jamaah Tabligh
didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah
dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il
Al-Hanafi Ad- Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi.
Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di
daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi),
ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh
berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar
bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti
dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin
Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas
sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal
pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad
Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah,
hal. 2).
Latar Belakang
Berdirinya Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh
Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat
mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari
ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu,
bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang
tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata,
tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya,
seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At- Tahanawi untuk membicarakan
permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas
perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah
Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh
Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal.
19)
Merupakan suatu
hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red)
bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah
kepergiannya ke makam Rasulullah (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, hal. 3).
Markas Jamaah
Tabligh
Markas besar
mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di
Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota
Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di
daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan
An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk
segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih
mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas
oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini
menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan
para nabi dan orang- orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal
Rasulullah melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan
mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah .
(Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh
Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)
Asas dan Landasan
Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh
mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan
cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus
sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan
rincian sebagai berikut:
Sifat Pertama:
Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad
Rasulullah
Mereka
menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak
tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat
Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan
Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan
Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada
tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
4).
Padahal makna Laa
Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang
berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya
adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan
al-asma wash shifat (Al- Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim
Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan
memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan
kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu,
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara
'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal
dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid.
Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di
mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah
saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid
uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini,
mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat,
mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada
Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah
At-Tablighiyyah, hal. 46).
Sifat Kedua:
Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan
Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya.
Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat,
kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih
lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut
Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya
segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5-
6).
Sifat ketiga:
Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi
ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail,
menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan
ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di
bawah, red) dan pada majlis- majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan
ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta
dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang
sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang
bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk
menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku
pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang
yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan
para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan
ringkas).
Sifat Keempat:
Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya
Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan
sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara
(kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan
sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka
atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang
tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin,
tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)
Sifat Kelima:
Memperbaiki Niat
Tidak diragukan
lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah
porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh
adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka
dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa
shalat di masjid- masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Sifat Keenam:
Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara
merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen)
bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun,
tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama
dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah
dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap
hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di
rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit,
mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap
hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj,
serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj,
mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen)
yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal
khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
9)
Asy-Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk
berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut
dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang
keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan
hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa
dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau
lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal.
7)
Asy-Syaikh
Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi
di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As
Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka
yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi
Jama’atit Tabligh, hal. 6)
Aqidah Jamaah
Tabligh dan Para Tokohnya
Jamaah Tabligh
dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1.
Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal
karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan
kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam
masalah aqidah adalah2:
1. Keyakinan
tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab
Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu
Bazar, Lahore).
2. Sikap
berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui
ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal.
540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul
kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya
mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab
Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi,
Lahore).
4. Keyakinan
bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat
Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi,
Lahore).
5. Keyakinan
bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu
dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541,
cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan
keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al- Kanhuhi
(lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri
Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H,
bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya
tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling
berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah,
Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab,
karya Asy- Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan
tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur
beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal,
bab Fadhail Ash- Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat
Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran
suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan,
atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari
manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal.
10).
10. Keharusan
untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-
Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal.
70).
11. Banyaknya
cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail
A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi
dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan
hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang
mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul
Musta’an.
Fatwa Para Ulama
Tentang Jamaah Tabligh
1. Asy-Syaikh
Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah
di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang
dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India
yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan.
Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang
berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan
mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan
mereka maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr.
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah
Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka,
pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka
tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya,
mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka,
dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa
nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah
tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan
ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar
(khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di
atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul
bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang
demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen),
dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam
menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum
muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan
kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang
padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan
kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh
Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya
organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia
sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka
benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap
kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu
-insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan
kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh
Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah
Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga
berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata
berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka
sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan
perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai
prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah
dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada”.
5. Asy-Syaikh
Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah
yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj
mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka
tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad
Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah
selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan
peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith
Thariq.
Penulis:
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar