Aksi kudeta,
penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu sering kita dengar
terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan digulingkan dan
diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta
berdarah.
Demikian contoh
isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah terjadi di negara kita tidak
hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin mengambil alih kekuasaan dari
pemerintah yang sah. Namun dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala aksi-aksi
pemberontakan tersebut dapat digagalkan atau disingkirkan.
Akan tetapi
sangat disesalkan di antara kelompok-kelompok para pemberontak ini ada yang
menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang mulia ini, sementara agama yang
mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena agama ini tidak mengajarkan
pemberontakan dan tidak ridha terhadap pemberontakan kepada pemerintah muslimin.
Wallahul musta’an.
Arfajah
Al-Asyja‘i Radliyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ،
وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيْدُ أَنْ يَّشُقَّ عَصَاكُمْ
أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa yang
mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu
kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah
belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang
tersebut.”
Dalam lafadz
lain:
إِنَّهُ
سَتَكُوْنُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ
اْلأُمَّةِ، وَهِيَ جَمِيْعٌ، فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ، كَائِنًا مَنْ
كَانَ
“Sungguh akan
terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barangsiapa yang ingin memecah-
belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu
dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang tersebut, siapa pun
dia.”
Takhrij
Hadits
Hadits yang mulia
di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-Imarah, Bab Hukmu
Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa Mujtama’ (Hukum orang yang memecah-belah
urusan muslimin dalam keadaan mereka telah berkumpul/bersatu pada perkara
tersebut), no. 1852. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya
4/261, 4/341, 5/23; An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022 dan Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 4762.
Dalam riwayat
An-Nasa`i (no. 4020) ada tambahan:
فَإِنَّ يَدَ
اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ
يَرْكُضُ
“Karena
sesungguhnya tangan Allah di atas tangan jamaah dan sungguh setan berlari
bersama orang yang berpisah dari jamaah.”
Makna
Hadits
يُرِيْدُ أَنْ
يَّشُقَّ عَصَاكُمْ
(dia ingin
memecahkan tongkat kalian) Maknanya ia ingin memecah-belah jamaah kalian
sebagaimana tongkat dibelah-belah. Hal ini merupakan ungkapan berselisihnya
kalimat dan menjauhnya jiwa-jiwa. (Syarhu Muslim, 13/242)
فَاقْتُلُوْهُ
(maka bunuhlah
orang tersebut) dalam lafadz lain:
فَاضْرِبُوْهُ
بِالسَّيْفِ
(maka penggallah
orang itu), tindakan ini dilakukan bila memang perbuatan jeleknya itu itu tidak
dapat dicegah dan tidak dapat dihentikan kecuali dengan membunuhnya. (Syarhu
Muslim, 13/242)
َائِنًا مَنْ
كَانَ
(siapa pun dia)
sama saja baik dia dari kalangan kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atau
selain mereka, dengan syarat pimpinan (imam) yang awal memang pantas menyandang
imamah ataupun khilafah. Demikian dikatakan Al-Qari sebagaimana dinukil dalam
‘Aunul Ma‘bud (13/76).
هَنَاتٌ
وَهَنَاتٌ
dalam An-Nihayah
(5/278) disebutkan maknanya adalah kerusakan dan kejelekan. Sedangkan di dalam
hadits ini maknanya kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah fitnah dan
perkara- perkara baru. (Syarhu Muslim, 13/242)
Pentingnya
Kepemimpinan
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin
untuk mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan
tidak akan tegak agama dan tidak pula dunia kecuali dengannya. Karena anak Adam
tidak akan sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan ijtima’ (berkumpul dan
berjamaah), juga disebabkan kebutuhan sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Dan ketika mereka berkumpul, tentunya harus ada yang menjadi pemimpin/ketua
mereka, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
إِذَا خَرَجَ
ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga
orang keluar dalam satu safar maka hendaklah mereka menjadikan salah seorang
dari mereka sebagai pemimpin mereka (dalam safar tersebut).” (HR. Abu Dawud dari
hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhuma)(1)
Al-Imam Ahmad
meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abdullah bin ‘Amr Radliyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
وَ لاَ يَحِلُّ
لِثَلاَثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلاَةٍ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi
tiga orang yang berada di permukaan bumi (yakni dalam safar) kecuali mereka
menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin
mereka.”(2)
Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam mewajibkan pengangkatan seseorang sebagai pemimpin dalam
perkumpulan yang sedikit dalam safar yang ditempuh, sebagai peringatan agar
pengangkatan pemimpin ini dilakukan dalam seluruh jenis perkumpulan. Dan juga
Allah k mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan kewajiban ini tidak akan
sempurna ditunaikan kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian
pula seluruh perkara yang Allah wajibkan seperti jihad, keadilan, penunaian
ibadah haji, pelaksanaan shalat Jum’at, hari Ied dan menolong orang yang
dizalimi. Pelaksanaan hukum had juga tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan, karena itulah diriwayatkan:
السَّلْطَانُ
ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضٍ
“Sesungguhnya
sultan/penguasa adalah naungan Allah di bumi.” (3)
Sehingga
dikatakan juga: “60 tahun di bawah pimpinan imam/pimpinan yang jahat/lalim itu
lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Dan tentunya pengalaman yang
akan menerangkan hal ini.
Karena itulah
as-salafush shalih seperti Al-Fudhail bin ‘'Iyadh, Ahmad bin Hambal dan selain
keduanya menyatakan: “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab niscaya doa
tersebut akan kami tujukan untuk penguasa.” (As-Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal.
129-130)
Catatan Penting
bagi Kita Semua!
Keberadaan daulah
Islamiyyah memang sangatlah penting dan berarti bagi kehidupan beragama kaum
muslimin. Namun yang perlu diperhatikan dan menjadi catatan penting di sini
apakah perkara tersebut menjadi tujuan yang utama, sebagaimana dinyatakan:
“Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang kepemimpinan yang baik
lagi terbimbing”?
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Orang yang berkata bahwa masalah imamah
adalah tujuan yang paling penting dan utama dalam hukum-hukum agama dan masalah
kaum muslimin yang paling mulia, maka dia itu berdusta menurut kesepakatan kaum
muslimin baik yang sunni ataupun yang syi’I (pengikut agama Syi’ah, red). Bahkan
ini termasuk kekufuran, karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting dan
utama daripada masalah imamah. Hal ini adalah perkara yang dimaklumi secara
pasti dari agama Islam. Dan seorang kafir tidaklah menjadi mukmin sampai ia
bersaksi: Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah (bukan karena
imamah, dan tentunya hal ini menunjukkan pentingnya permasalahan iman, pen).
Inilah alasan utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerangi
orang-orang kafir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَّ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي
رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا
ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّهَا
“Aku diperintah
untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali
Allah dan aku adalah Rasulullah, kemudian mereka menegakkan shalat dan membayar
zakat. Maka bila mereka melakukan hal itu terjagalah dariku darah dan harta
mereka kecuali dengan haknya.” (4)
Beliau
rahimahullah juga menyatakan: “Perlu dimaklumi bagi kita semua, apabila
didapatkan masalah kaum muslimin yang paling mulia dan tujuan yang paling
penting dalam agama ini, tentunya akan disebutkan dalam Kitabullah lebih banyak
daripada perkara selainnya. Dan demikian pula keterangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam tentang perkara tersebut, tentunya akan lebih utama dan lebih
banyak daripada keterangan beliau terhadap perkara lainnya. Sementara kita lihat
Al Qur`an penuh dengan penyebutan tauhidullah, nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya, ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, kisah-kisah, perintah dan
larangan, hukum had dan kewajiban- kewajiban. Tidak demikian halnya dengan
masalah imamah. (Maka kalau dikatakan bahwa masalah imamah itu lebih
utama/penting dan lebih mulia daripada yang lainnya, pen) lalu bagaimana bisa Al
Qur`an itu dipenuhi dengan selain perkara yang lebih penting/utama dan lebih
mulia?!” (Minhajul Anbiya`, 1/21)
Asy-Syaikh Rabi‘
bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata meluruskan kesalahan orang yang
mengatakan demikian: “Bahkan sesungguhnya tujuan agama yang hakiki dan tujuan
penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para rasul serta diturunkannya
kitab-kitab adalah untuk ibadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk
Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.”(5)
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ
إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Kami
mengutus seorang rasul pun sebelummu kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya
tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-
Ku.”(6)
الر، كِتاَبٌ
أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ، أَلاَّ
تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيْرٌ
وَبَشِيْرٌ
“Alif laam raa.
(Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan baik serta dijelaskan
secara terperinci dari sisi Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah lagi Maha
Mengetahui/Mengabarkan, agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah.
Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira
dari Allah kepada kalian.”(7) (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmah
wal ‘Aql, hal. 152)
Demikianlah
perkara keimanan ini begitu amat pentingnya agar menjadi perhatian kita
semuanya. Dan jangan seseorang terlalu berambisi mendirikan daulah Islamiyyah
dan menjadikannya sebagai inti dakwahnya kepada umat, sementara tauhid belum
ditegakkan, kesyirikan masih merajalela dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam masih dibuang di belakang punggung- punggung manusia. Wallahul
musta’an.
Pemberontak,
Gerombolan Parasit dalam Khilafah Islamiyyah
Tegaknya daulah
Islamiyyah merupakan keinginan setiap yang diibadahi danmuslim yang memiliki
ghirah keislaman, agar hanya Allah hanya syariat-Nya yang ditegakkan. Namun
kesinambungan dan perjalanan daulah itu dapat terganggu dengan keberadaan
gerombolan- gerombolan pengacau keamanan yang merongrong kewibawaan penguasa.
Tak jarang gerombolan itu mengadakan aksi pemberontakan di saat mereka merasa
memiliki kekuatan. Ibaratnya gerombolan ini seperti parasit dalam tubuh daulah
Islamiyyah sehingga tidak ada jalan untuk menjaga keutuhan daulah, kewibawaan
penguasa dan mempertahankan persatuan kaum muslimin kecuali menumpas parasit
tersebut dan memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka sesuai dengan
ketetapan syariat Islam.
Larangan
Memberontak kepada Pemerintah Muslimin walaupun Zalim
Aksi kudeta,
penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu sering kita dengar
terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan digulingkan dan
diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta berdarah. Demikian contoh
isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah terjadi di negara kita tidak
hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin mengambil alih kekuasaan dari
pemerintah yang sah. Namun dengan izin Allah Ta’ala aksi-aksi pemberontakan
tersebut dapat digagalkan atau disingkirkan.
Akan tetapi
sangat disesalkan Diantara kelompok-kelompok para pemberontak ini ada yang
menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang mulia ini, sementara agama yang
mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena agama ini tidak mengajarkan
pemberontakan dan tidak ridha terhadap pemberontakan kepada pemerintah muslimin.
Wallahul musta’an.
Kelompok-kelompok
pemberontak yang berbicara atas nama agama ini menggembar-gemborkan keinginan
mereka ingin membangun negara dalam negara (yang sah) dan seandainya punya
kesempatan mereka akan menggulingkan pemerintah yang sah. Mereka
berteriak-teriak di hadapan khalayak ingin mendirikan khilafah Islamiyyah, ingin
menegakkan syariat Islam, sementara syariat Islam tersebut tidak ditegakkan
terlebih dahulu pada diri dan keluarga mereka (bahkan juga dalam praktek mereka
untuk meraih khilafah/daulah Islamiyyah -ed). Sehingga penegakan syariat Islam
dan khilafah Islamiyyah yang ingin mereka lakukan sekedar isapan jempol semata.
Mereka membuat huru-hara, mengacaukan keamanan dan menyudutkan Islam serta kaum
muslimin.
Aksi bom di
berbagai tempat mereka tebarkan atas nama jihad fi sabilillah melawan kezaliman
penguasa, padahal lebih tepat apabila dikatakan mereka ini adalah gerombolan
pemberontak pengacau keamanan dan ketentraman. Jalan yang mereka tempuh
menyelisihi kebenaran (al- haq), bimbingan dan petunjuk yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Karena syariat menetapkan, bila
seorang muslim telah diangkat sebagai pimpinan di sebuah negeri kaum muslimin
dimana seluruh urusan kaum muslimin berada di bawah perintah dan pengaturannya,
maka haram untuk memberontak kepadanya dan haram menggulingkan kekuasaannya
walaupun ia seorang pimpinan yang zalim.
Memberontak
dengan bentuk dan model yang bagaimana pun haram hukumnya, karena adanya
hadits-hadits yang berisi larangan memberontak dan juga karena adanya dampak
yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut berupa fitnah, tertumpahnya darah,
malapetaka dan bencana. Prinsip tidak memberontak kepada pemerintahan kaum
muslimin merupakan prinsip yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan
asas ini termasuk asas Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling pokok yang diselisihi
oleh kelompok-kelompok sesat dan ahlul ahwa`. (Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah,
hal. 170)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah telah menyebutkan kesepakatan tersebut dengan ucapan beliau:
“Adapun memberontak kepada penguasa dan memerangi mereka maka haram menurut
kesepakatan kaum muslimin, walaupun penguasa itu fasiq zalim.” (Syarhu Muslim,
12/229)
Demikian pula
yang dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah dari Ibnu
Baththal rahimahullah, beliau berkata: “Fuqaha sepakat tentang wajibnya menaati
sultan/penguasa, jihad bersamanya, dan bahwa menaatinya itu lebih baik daripada
memberontak kepadanya, karena akan melindungi tertumpahnya darah dan menenangkan
orang banyak.” Ibnu Baththal melanjutkan: “Dan mereka tidak mengecualikan dari
larangan tersebut kecuali bila sultan/penguasa itu jatuh ke dalam kekufuran yang
nyata, maka tidak boleh menaatinya bahkan wajib memeranginya bagi orang yang
memiliki kemampuan.” (Fathul Bari, 13/9)
Hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Ucapan Ulama dalam Masalah
Ini
Diantara
hadits-hadits yang ada dalam masalah ini dapat kita sebutkan sebagai
berikut:
‘Ubadah ibnu
Ash-Shamit Radliyallahu ‘anhu berkata:
بَايَعْنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا
وَأَثَرَة عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا
كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbai’at
untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami suka ataupun terpaksa, dalam keadaan
sulit ataupun lapang, dan dalam keadaan penguasa menahan hak-hak kami. Dan
beliau membai’at kami agar kami tidak menentang dan menarik/merebut perkara dari
pemiliknya (memberontak pada penguasa) kecuali bila kalian melihat kekufuran
yang nyata dari penguasa tersebut dimana di sisi kalian ada bukti/keterangan
yang nyata (8) dari Allah tentang kekafiran mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 7056
dan Muslim no. 1709)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
إِنَّهُ
يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ كَرِهَ
فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ.
قَالُوا: أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلَّوا
“Sungguh akan
memimpin kalian para pimpinan yang kalian fahami perbuatan mereka adalah
perbuatan maksiat dan kalian mengingkari perbuatan tersebut dilakukan. Maka
barangsiapa yang benci (terhadap kejahatan/kezaliman pimpinan tersebut) sungguh
ia telah berlepas diri dan barangsiapa yang mengingkarinya sungguh ia telah
selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan mengikuti (kejahatan penguasa maka
orang itu bersalah).” Para shahabat bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami
memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama mereka masih shalat.”
(HR. Muslim no. 1854)
Ibnu ‘Abbas
Radliyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam:
مَنْ رَأََى مِنْ
أَمِيْرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ
شِبْرًا فَمَاتَ فمِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa yang
melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia benci maka hendaklah ia bersabar karena
siapa yang meninggalkan jamaah (kaum muslimin di bawah pimpinan pemimpin
tersebut) satu jengkal saja lalu ia meninggal maka matinya itu mati
jahiliyyah.”(9) (HR. Al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no.
1849)
Anas bin Malik
Radliyallahu ‘anhu mengatakan: Para pembesar shahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam melarang kami dengan mengatakan:
لاَ تَسُبُّوا
أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغِشُّوْهُمْ وَلاَ تُبْغَضُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
وَاصْبِرُوْا، فَإِنَّ اْلأَمْرَ قَرِيْبٌ
“Janganlah kalian
mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah mengkhianati mereka dan janganlah
membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena
sesungguhnya perkara itu dekat.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1015 dalam Kitabus
Sunnah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi
Takhrijis Sunnah)
Abu ‘Utsman
Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ashabul hadits memandang shalat Jum’at,
shalat dua ied dan shalat-shalat lainnya dilakukan di belakang setiap
imam/pimpinan muslim yang baik ataupun yang fajir/jahat. Mereka memandang untuk
mendoakan taufik dan kebaikan untuk penguasa serta tidak boleh memberontak,
sekalipun para pimpinan tersebut telah menyimpang dari keadilan dengan berbuat
kejahatan, kelaliman dan kesewenang-wenangan.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits,
hal. 106)
Al-Imam
Ath-Thahawi rahimahullah berkata menyebutkan i‘tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah
wal Jamaah: “Kita memandang tidak bolehnya memberontak terhadap pimpinan dan
penguasa/pengatur perkara kita, sekalipun mereka itu zalim. Kita tidak boleh
mendoakan kejelekan untuknya dan kita tidak menarik ketaatan kita dari ketaatan
terhadapnya. Kita memandang taat kepada pimpinan merupakan ketaatan kepada Allah
Ta’ala sebagai satu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan untuk
bermaksiat. Dan kita mendoakan kebaikan dan kelapangan/pemaafan untuk mereka.”
(Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, hal.
379)
Al-Aini berkata
menerangkan hadits Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhu di atas: “Yakni hendaklah ia
bersabar atas perkara yang dibenci tersebut dan tidak keluar dari ketaatan
kepada penguasa. Karena hal itu akan mencegah tertumpahnya darah dan menenangkan
dari kobaran fitnah, kecuali bila imam/penguasa tersebut kafir dan menampakkan
penyelisihan terhadap dakwah Islam maka dalam keadaan demikian tidak ada
ketaatan kepada makhluk.” (‘Umdatul Qari, 24/178; Fiqhus Siyasah Asy-Syar`iyyah
hal. 173)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah mereka memandang tidak boleh keluar memberontak kepada para
pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang, sekalipun pada mereka ada
kezaliman. Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena kerusakan yang ditimbulkan dalam
peperangan dan fitnah lebih besar daripada kerusakan yang dihasilkan kezaliman
mereka tanpa perang dan fitnah.” (Minhajus Sunnah, 3/213). Beliau rahimahullah
juga menyatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah melarang
untuk memerangi para penguasa/pimpinan, padahal beliau mengabarkan bahwa para
pimpinan tersebut melakukan perkara-perkara yang mungkar. Hal ini menunjukkan
tidak bolehnya mengingkari penguasa dengan menghunuskan pedang (perang)
sebagaimana pandangan kelompok-kelompok yang memerangi penguasa baik dari
kalangan Khawarij, Zaidiyyah maupun Mu’tazilah.” (Minhajus Sunnah,
3/214)
Dalam Majmu’ul
Fatawa (35/12) beliau juga menyatakan: “Adapun ahlul ilmi wad din dan orang yang
Allah berikan kepadanya keutamaan, mereka tidak memberikan rukhshah (keringanan)
kepada seorang pun dalam perkara yang Allah larang berupa bermaksiat kepada
wulatul umur (pemimpin), menipu mereka dan memberontak terhadap mereka dari satu
sisi pun. Sebagaimana prinsip ini diketahui dari Ahlus Sunnah dan orang-orang
yang berpegang teguh terhadap agama, baik orang-orang yang terdahulu maupun yang
belakangan.”
Asy-Syaikh Ibnu
Baz rahimahullah berkata: “Wajib bagi kaum muslimin untuk taat kepada wulatul
umur dalam perkara ma’ruf, bukan dalam perkara maksiat. Bila ternyata mereka
memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh ditaati, namun tidak boleh
keluar/memberontak kepada mereka karena perbuatan maksiat mereka tersebut. Dan
diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam:
عَلَى الْمَرْءِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ
طَاعَةَ
“Wajib bagi
seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan benci, kecuali ia
diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah berbuat maksiat, ia tidak
boleh mendengar dan taat.”(10)
Juga ketika
disebutkan kepada para shahabat tentang para pemimpin yang mereka fahami
perbuatan para pemimpin itu adalah perbuatan maksiat dan mereka mengingkari
perbuatan tersebut, para shahabat bertanya kepada beliau n: “Lalu apa yang
engkau perintahkan kepada kami apabila kami menyaksikan perkara tersebut?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
أَدُّوْا
إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللهَ حَقَّكُمْ
“Tunaikan hak
mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(11)
Hal ini
menunjukkan tidak bolehnya mereka menentang wulatul umur dan tidak bolehnya
mereka keluar memberontak kecuali bila mereka melihat kekufuran yang nyata yang
mereka punya bukti yang nyata dari Allah Ta’ala tentang kekufuran
mereka.
Memberontak
kepada wulatul umur (penguasa) itu dilarang tidak lain karena akan menyebabkan
kerusakan yang besar dan kejelekan yang tidak sedikit. Diantaranya akan
terganggu keamanan dan tersia-siakannya hak, tidak diperolehnya kemudahan untuk
mencegah kezaliman orang yang berbuat zalim dan tidak dapat memberi pertolongan
kepada orang yang dizalimi dan jalan-jalan menjadi tidak aman. Sehingga
jelaslah, memberontak terhadap wulatul umur berdampak kerusakan dan kejelekan
yang besar, terkecuali bila kaum muslimin melihat kekufuran yang nyata yang
mereka punya bukti yang tentang kekufuran mereka. Dalam keadaan seperti ini
tidak nyata dari Allah apa-apa mereka melakukan upaya untuk menggulingkan
penguasa tersebut jika memang kaum muslimin memiliki kekuatan. Namun bila tidak
memiliki kekuatan, mereka tidak boleh melakukan hal tersebut. Atau bila mereka
keluar (memberontak, red) dari penguasa tersebut akan menyebabkan kejelekan yang
lebih besar maka tidak boleh mereka keluar demi menjaga kemaslahatan
umum.
Kaidah syar’iyyah
yang disepakati menyatakan: tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan
mendatangkan apa yang lebih jelek daripada kejelekan yang sebelumnya, bahkan
wajib menolak kejelekan dengan apa yang memang bisa menghilangkannya atau
meringankannya. Adapun menolak kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar
tidaklah dibolehkan dengan kesepakatan kaum muslimin.” (Fiqhus Siyasah
Asy-Syar’iyyah, hal. 263-264, Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima`
fi Al-Jazair hal. 70-71)
Fadhilatusy
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh memberontak kepada
pemimpin dan menentang mereka, terkecuali:
Pertama: ketika
mereka kafir dengan kekufuran yang nyata berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam :
إِلاَّ أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
“kecuali bila
kalian melihat kekufuran yang nyata…”. (Muttafaqun alaihi)
(12)
Kedua: memiliki
ilmu tentang kekafiran mereka, dan ulama-lah dalam hal ini yang
menilainya.
Ketiga:
terealisirnya maslahat dalam hal ini dan tertolaknya mafsadat, dan yang
menetapkan yang demikian ini dan yang menilainya juga ahlul
ilmi.
Keempat: adanya
kemampuan (yang hakiki) yang dimiliki kaum muslimin untuk menyingkirkan pemimpin
yang kafir itu.
Dengarkanlah
wahai kaum muslimin, nasehat yang sangat berharga dari beliau rahimahullah :
“Umumnya kekuatan dan kemampuan itu berada di tangan pemerintah, maka aku
nasehatkan agar kaum muslimin untuk berpegang dengan ilmu dan dakwah dengan
hikmah, serta tidak masuk dalam perkara yang nantinya beresiko akan berhadapan
dengan pemerintah…” (Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi
Al-Jazair, hal. 135-136)
Hukuman bagi
Pemberontak
Orang yang keluar
dari jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh penguasa dari kalangan muslimin dan
memberontak kepada pemerintah yang sah berarti ia ingin memecah-belah persatuan
kaum muslimin dan memperhadapkan kaum muslimin kepada fitnah, bahaya dan
kerusakan yang besar. Sungguh tidak ada alasan baginya untuk berbuat demikian
karena syariat telah menetapkan agar kita senantiasa taat kepada pemimpin dalam
perkara yang ma’ruf, sama saja baik pemimpin itu baik ataupun jahat/zalim selama
ia masih muslim.
Al-Imam
Al-Lalikai rahimahullah berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah: “Siapa yang keluar memberontak terhadap satu pemimpin dari
pemimpin-pemimpin kaum muslimin sementara manusia telah berkumpul dalam
kepemimpinannya dan mengakui kekhilafahannya dengan cara bagaimana pun dia
memegang jabatan tersebut baik dengan keridhaan atau dengan penguasaan, orang
yang memberontak itu berarti telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin
dan menyelisihi atsar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Bila
pemberontak itu mati dalam keadaan berbuat demikian maka matinya mati
jahiliyyah. Dan tidak halal bagi seorang pun untuk memerangi sultan dan tidak
pula keluar dari ketaatan padanya. Barangsiapa yang melakukannya berarti dia
adalah ahlul bid’ah, dia tidak berada di atas As Sunnah dan tidak di atas jalan
yang benar.” (Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 1/181; Fatawa
Al-Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair, hal.
28)
Al-Imam As-Sindi
berkata: “Penjagaan dan pertolongan Allah akan menyertai kaum muslimin apabila
mereka bersepakat/bersatu. Maka barangsiapa yang ingin memecah-belah Diantara
mereka berarti sungguh ia berkeinginan memalingkan pertolongan Allah dari
mereka.” (Sunan An-Nasa`i bi Hasyiyah As-Sindi, 7/92)
Fadhilatusy
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Memberontak pada pemerintah, tidaklah
dibolehkan secara mutlak. Karena itulah kami memandang para pemberontak itu atau
orang- orang (da’i) yang mengajak untuk memberontak tersebut, bisa jadi mereka
itu musuh Islam yang menyusup di tengah kaum muslimin, atau mereka itu muslimin
namun mereka berada pada puncak kejahilan tentang Islam yang Allah turunkan
kepada hati Muhammad n.” (Fatawa Al- Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi
Al-Jazair, hal. 94)
Karena besarnya
kesalahan yang diperbuat oleh para pemberontak pengacau persatuan kaum muslimin
ini, maka syariat memberikan hukuman yang keras bagi mereka dalam rangka
mencegah kerusakan yang mereka timbulkan. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sabda beliau di atas:
مَنْ أَتَاكُمْ،
وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيْدُ أَنْ يَّشُقَّ عَصَاكُمْ
أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa yang
mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu
kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah
belah jamaah kalian, maka penggallah orang tersebut.”
Dalam lafadz
lain:
إِنَّهُ
سَتَكُوْنُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ
اْلأُمَّةِ، وَهِيَ جَمِيْعٌ، فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ، كَائِنًا مَنْ
كَانَ
“Sungguh akan
terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka siapa yang ingin memecah-belah
perkara umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu dalam
satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah orang tersebut siapa pun
dia.”
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat perintah untuk memerangi orang
yang keluar/memberontak terhadap imam, atau ia ingin memecah-belah kalimat
(persatuan) kaum muslimin dan semisalnya dan ia dilarang dari berbuat demikian.
Namun bila ia tidak berhenti maka ia diperangi dan jika kejelekan/kejahatannya
tidak bisa ditolak/dicegah kecuali dengan membunuhnya maka ia boleh dibunuh.”
(Syarhu Muslim, 13/241)
Demikianlah
hukuman bagi perongrong kedaulatan pemerintah kaum muslimin yang sah dan pemecah
belah persatuan kaum muslimin, mereka boleh diperangi dan dibunuh oleh penguasa
untuk menolak dan mencegah kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkannya! Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditanyakan kepada
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah: “Wahai Fadhilatusy Syaikh,
sangat disayangkan di sana ada orang yang membolehkan keluar (memberontak) dari
pemerintah tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan syar’iyyah. Sebenarnya apa
manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa muslim dan selain
muslim?”
Beliau
hafizhahullah menjawab: “Manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa muslim
adalah mendengar dan taat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيًّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدًّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيْلاً
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasulullah dan ulil amri Diantara kalian. Maka jika kalian berselisih dalam
sesuatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jka memang kalian itu
beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An- Nisa`: 59)
Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda:
أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ،
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ
بَعْدِي
“Aku wasiatkan
kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat walaupun
yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena sungguh (kelak) orang yang
masih hidup Diantara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib
bagi kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun
Al-Mahdiyyun sepeninggalku.”(13) Hadits ini sangat mencocoki ayat di atas
(An-Nisa: 59).
Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ أَطَاعَ
اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ
عَصَانِي
“Siapa yang taat
kepada pemimpin berarti ia taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat kepada
pemimpin berarti ia telah bermaksiat kepadaku.”(14)
Dan hadits-hadits
lainnya yang berisi hasungan untuk mendengar dan taat. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam juga bersabda:
اسْمَعْ وَأَطِعْ
وَإِنْ أُخَذَ مَالُكَ وَضُرِبَ ظَهْرُكَ
“Dengar dan
taatlah sekalipun diambil hartamu dan dipukul
punggungmu.”(15)
Dengan demikian,
pemimpin kaum muslimin wajib ditaati dalam rangka ketaatan kepada Allah k.
Apabila ia memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh ditaati dalam perkara
tersebut, namun dalam perkara selain maksiat ia harus
ditaati.
Adapun dengan
pemimpin kafir, maka hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan. Bila
kaum muslimin punya kekuatan dan punya kemampuan untuk memeranginya dan
menggesernya dari pemerintahan lalu menggantinya dengan pemimpin yang muslim,
maka hal itu wajib dilakukan dan termasuk jihad fi
sabilillah.
Adapun bila
mereka tidak mampu menggesernya maka tidak boleh bagi mereka untuk menebarkan
benih permusuhan dan kebencian dengan (menyebut-nyebut) kezaliman dan kekafiran
si penguasa, karena hal tersebut justru akan mengembalikan kemudharatan dan
kebinasaan kepada kaum muslimin.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam tinggal di Makkah selama 13 tahun setelah diangkatnya beliau
sebagai nabi, sementara Makkah ketika itu dikuasai orang-orang kafir. Beliau dan
orang-orang yang berIslam dari kalangan shahabatnya tidaklah memerangi
orang-orang kafir tersebut. Bahkan pada saat itu mereka dilarang memerangi
orang-orang kafir. Mereka tidaklah diperintah untuk berperang melainkan setelah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berhijrah, dimana ketika itu beliau telah
memiliki daulah dan jamaah sehingga mereka mampu memerangi orang kafir. Inilah
manhaj Islam.
Dengan demikian
bila kaum muslimin di bawah pemerintahan kafir dan mereka tidak punya kemampuan
untuk menggesernya maka mereka berpegang teguh dengan keislaman mereka dan
aqidah mereka, dan mereka jangan mempertaruhkan diri mereka untuk menghadapi
orang- orang kafir. Karena hal itu akan berakibat kebinasaan bagi mereka dan
dakwah Islam di negeri itu pun akan berakhir. Adapun bila mereka punya kekuatan
yang dengannya mereka mampu untuk berjihad maka mereka berjihad di jalan Allah
menurut ketentuan syar‘iyyah yang ma’ruf.” (Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal.
287-288)
Footnote
:
1. HR. Abu Dawud
no. 2608. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam Ash-Shahihah no. 1322:
Sanadnya hasan
2. HR. Ahmad
2/176-177. Hadits ini sebagai syahid (pendukung) hadits di atas, kata Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah: Rijaln-ya (perawinya) tsiqat
(terpercaya) kecuali Ibnu Lahi’ah, dia buruk hafalannya.
3. HR. Al-Baihaqi
dalam As-Sunanul Kubra, no. 8/162
4. HR. Al-Bukhari
no. 25 dan Muslim no. 22
5. QS.
Adz-Dzariyat: 56
6. QS. Al-Anbiya:
25
7. QS. Hud:
1
8. Yakni
keterangan dari ayat Al Qur`an atau hadits yang shahih yang tidak mungkin
ditakwil, yakni tegas dan jelas. Dari sini dipahami bahwa tidak boleh
memberontak kepada penguasa selama perbuatan mereka masih mungkin untuk
ditakwil. (Fathul Bari, 13/10)
9. Keadaan
matinya seperyi matinya orang jahiliyyah di atas kesesatan dalam keadaan ia
tidak punya imam/pemimpin yang ditaati karena orang-orang jahiliyyah tidak
mengenal hal itu. Bukan maksudnya di sini orang itu mati kafir, akan tetapi ia
mati dalam keadaan maksiat. (Fathul Bari, 13/9)
10. HR.
Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839
11. HR.
Al-Bukhari no. 7052 dan Muslim no. 1843
12. HR.
Al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709
13. HR. Abu Dawud
no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676 dan ia berkata: hadits hasan shahih.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 3851
dan Shahih At-Tirmidzi no. 2157
14. HR.
Al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835
15. Dalam hadits
Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda
kepadanya:
تسْمَعُ
وَتُطِِِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخَذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ “Engkau mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu
dan diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim no.
1847)
Penulis:
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar